Jumat, 11 Maret 2011

hidupku terancam di Trotoar...

Akhir-akhir ini jalan raya punya penguasa baru, entah kapan dipilih, entah kapan kudeta. yang pasti merekalah penguasa jalanan ibukota saat ini. Saya tidak sedang membicarakan armada kopaja atau bajaj yang legendaris itu, tapi saya sedang bicara soal satu pasukan baru penjelajah jalanan kota. Lebih cepat, lebih gesit, lebih lincah. Tak satupun, saya ulangi, tak satupun orang waras yang mau cari masalah dengan pasukan ini. Ya kawan, jika armada motor yang ada di benak saudara, maka pikiran kita sama.

Kemarin waktu berangkat rapat, aku dan taxi yang kutumpangi berjalan santai menuju suatu gedung di jalan S.Parman, kebetulan kami lewat jalur Tomang. Pada dasarnya jalanan cukup ramai, tapi lancar. Taxi yang kutumpangi bisa berjalan cukup mulus melalui jalanan sambil melewati berbagai bangunan landmark Jakarta. Obrolan dengan pak supirpun mengalir akrab. Intinya pagi itu, perjalananku cukup menyenangkan.

Tapi suasana jadi runyam ketika tiba-tiba saja, dengan kecepatan tinggi satu armada motor melewati kami dari sisi kiri. Ya kawan, sisi kiri ! tidak tanggung-tanggung, bukan satu dua motor, bukan satu dua, tapi satu armada ! saya bisa bilang satu “armada” karena jumlahnya mungkin sekitar belasan. Saya tidak bisa menghitung dengan tepat jumlahnya. Yang pasti suasana makin runyam, ketika entah sejak kapan, tanpa disadari, sirkuit sentul sudah pindah ke hadapan kami. Puluhan motor berbagai tipe menyeruak tiba-tiba seolah “menginvasi” setiap sudut jalanan dan mulai beratraksi dengan saling salip satu sama lain. Spion kiri, kaca tengah kini sama krusialnya dengan spion kanan, karena hanya Tuhan dan para “road runners” itu saja yang tahu sisi mana yang akan dipakai untuk menyalip kami. Belum lepas pikiranku soal adu salip antara motor dengan taxi, aku dihadapkan pada kenyataan miris bahwa bangsaku memang memiliki mental pemberani, namun kadang salah tempat. Di depanku, aku melihat dengan jelas beberapa motor dengan tenang penuh syahdu hendak menyalip bus kopaja yang juga sedang hendak menyalip ke depan. Ya kawan ! balapan di mulai !

Harusnya orang Indonesia ada yang masuk GP500. bukan sekedar masuk tapi juara ! harus juara, berturut-turut ! Karena bus kopaja yang semenjak jaman Bang Ben dan Kang Ibing sudah merajai jalanan kota akhirnya harus “lengser turun tahta” dan mempersilahkan teknologi roda dua dengan mesin sistem TAK untuk menjadi pangeran jalanan. Bus kopaja tadi menyerah. Tak sanggup disalip berturut-turut oleh pasukan motor yang nekad minta ampun. Bagaimana tidak nekad? Banyak pengendara yang membawa keluarga. Satu motor bisa dinaiki oleh tiga sampai empat orang (ayah ibu dan dua anak). Parahnya seringkali para anak-anak tidak memakai helm. Tak sanggup ku bayangkan wajah-wajah tak berdosa itu jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Namun memang karakter penguasa dimana-mana cenderung sama. Tak puas menguasai jalanan, kini mereka punya program baru : invasi trotoar, halte, halaman dan jembatan. Jika anda berjalan kaki sepanjang jalur medan merdeka timur ke arah tugu tani, maka anda akan berbagi trotoar dengan para motor. Ya sobat, entah kapan aturan lalu lintas berubah, tapi yang pasti inilah yang kuhadapi selama setahun ini. Kala pulang sore hari sambil berjalan kaki, seringkali motor tanpa merasa perlu membunyikan klason muncul dari belakangku dan dengan tenang menyalip kedepan. Kalau itu belum cukup, motor – motor itu melahap lajur trotoar dengan kecepatan tinggi. Kadang aku berfikir untuk mulai berjalan kaki di tengah jalan saja.

Lanjut ke kisahku yang tadi. Kami baru saja menikmati ketenangan karena armada motor tadi sudah berlalu. Obrolan tidak beranjak jauh dari hilangnya empati dan toleransi di jalan. Akupun bisa kembali menikmati bangunan-bangunan di Jakarta. Tapi mungkin pagi itu aku harus kembali terhenyak. Miris…., sepeda motor kini parkir di halte tunggu busway. Entah siapa yang menaruhnya disitu. Yang pasti mataku merekam pemandangan motor yang berjajar di atas halte busway. Rupanya aku memang kurang gaul, karena setelah momen menyedihkan itu, kini terhampar pemandangan dimana trotoar sudah berubah menjadi parkiran tidak resmi. Gawat.

Aku tidak lagi mencari pak polisi, tak sedikitpun hasrat sumpah serapah ingin kutumpahkan pada rekan sesama abdi negara itu. Seingatku dulu waktu jaman sekolah dasar, kami diajarkan bagaimana tata krama di jalanan. Setidaknya bagaimana saling bertoleransi di jalanan. Waktu itu sekolahku jauh dari kota dan yang sekolah disanapun bukan anak kota. Entah kenapa sekarang kita makin egois, tapi lamunanku beranjak jauh lagi dimana memang ibukota betul-betul menguji moral kita sebagai manusia. Lamunanku semakin jauh kepada adagium ribuan tahun lalu : “homo homini lupus”. Arti adagium ini sangat mengerikan : “manusia adalah serigala untuk manusia yang lain”. Di kota yang penuh tekanan ini, kita memang terkadang lupa bahwa kebutuhan kita bukan sekedar fisik semata, tapi juga jiwa. Saling empati akan membawa ketenangan dalam hidup. Dengan empati, kita akan terdorong untuk saling tolong-menolong. Moga-moga momen ramadhan ini bisa membukakan hati kita semua, moga-moga jiwa kita tidak di korupsi oleh “kekejaman” kota yang sebenarnya kita ciptakan sendiri. Amin. Dan sekarang aku kembali bekerja sambil mendengarkan lagu “every hurts” dari R.E.M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar