Mungkin bagi rekan-rekan kerja di
kantor, tulisan ini akan jadi bahan tertawaan. saya bukanlah seorang
penggiat sosial atau aktivis perubahan. Dia hanya pegawai negeri yang
sehari-harinya bergulat antara mengabdi pada masyarakat dan polusi kapitalisme.
Entah mana yang menang. Yang pasti aroma oportunis dan ketidaktegasan
manajerial tercium dimana-mana.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah
profesi yang unik. Dia berdiri kokoh di dua kutub yang ektrim, dihujat
mati-matian, tapi ratusan ribu pelamar mengantri setiap tahun. Ketika gayus
terbukti maling uang rakyat, ramai masyarakat mencaci. Tapi tahun ini, ribuan
pelamar berharap-harap cemas, akankah namanya tercantum di kepegawaian ditjen
Pajak. Dengan demikian, mungkin hanya
PNS lah profesi yang menunjukan sifat asli masyarakat kita yang mengidap Dissociative Identitiy Disorder
(penyakit kejiwaan dimana seseorang mengidap kepribadian ganda). Banyak orang berbuih-buih
mencap PNS sebagai kumpulan pegawai yang
makan gaji buta, sementara dalam hati berharap agar dirinya atau putra-putrinya
diterima sebagai PNS.
Apakah menjadi PNS sesuatu yang
buruk? Tentu saja tidak. PNS adalah profesi yang lagi-lagi duduk pada dua kutub
yang ekstrim. Satu sisi, kita bisa beribadah dengan mengabdi kepada rakyat,
disisi lain kita bisa mencari nafkah sebagai seorang profesional.
Tapi Kenapa? Selalu ada “kenapa”
dalam setiap fenomena. Kenapa PNS demikian dibenci tapi di rindu? Tanyakan pada
sembarang orang, jawabannya cenderung selalu sama : keamanan. Ya, keamanan
adalah faktor utama kenapa PNS demikian diidolakan. Status “keamanan” ini demikian multi dimensi dimana para PNS menikmati berbagai fasilitas seperti jaminan kesehatan, kepastian
pendapatan yang selalu disesuaikan dengan inflasi, imej pekerjaan yang (konon)
santai, banyak tunjangan (untuk pejabat), jaminan pensiun, mudah dapat kredit
bank, dan terakhir, alasan yang selalu di agung-agungkan banyak orang : (konon) susah dipecat.