Rabu, 27 Juli 2011

sebelum ramadhan gagal kembali

ramadhan itu sebenarnya cara paling mudah untuk mengetahui siapa kita. Pelanggaran berulang yang kita lakukan di setiap harinya cukuplah menjadi cermin. kemenangan? kemenangan apa yang secara sangat naif kita bayangkan? kemenangan menahan lapar? kemenangan berpuasa? Tuhan tak butuh lapar kita. lebih jauh lagi, Dia tak butuh kita.

apakah aku bisa menjadi orang yang lebih sabar. bisakah menjadi sedikit bijak, atau setidaknya, bertambah baikkah diriku? setiap tahun kita bermaaf maafan dengan dendam yang enggan beranjak. dengki seolah telah membangun peristirahatan di kalbu kita. iri dan hasud menjadi teman setia untuk bercengkarama. dikeriuhan kelamnya hati, amarah datang untuk melengkapinya. binatang, kita tak lebih dari itu

kebohongan tetaplah kebohongan. meski itu dibalut kemanusiaan. jangan tutupi itu. tahun demi tahun aku menjerit. ingin sekali berteriak. puasaku untuk diriku bukan untuk siapa siapa.

kita mengaku islam dan senantiasa menjadi penghianat atas keyakinan kita sendiri. aku tak merasa diampuni. aku merasa hidup dalam tali gantungan dari emas dan perak. menjual jiwaku pada benda benda fana. hanya untuk membeli baju baru, hanya untuk membeli oleh oleh.

dalam perenunganku, ku dengar jawaban. "itulah ujiannya..., kau pilih JalanKU atau jalan yang lain, itu terserah kamu". memang benar, naik motor saja harus lulus ujian.

sekarang pertanyaannya. apakah ramadhan kali ini kita akan gagal kembali. jujur sajalah, tahun lalu kita lalui hari hari mulia itu seolah sampah. hari hari dimana lampau sang Nabi tak lewatkan sedetikpun tanpa kebajikan dan derma justru kita lalui sambil lalu

seiring tangan munafikku menulis teks teks tak penting ini. sekeping akal sehatku yang masih tersisa tetap bertanya, apakah kau akan gagal kembali tahun ini?

catatan seorang pertapa

Aku tidak suka sinetron. tayangan seperti itu lebih cocok ditujukan untuk metode interogasi polisi. itulah kenapa aku lebih memilih mendekam sendiri di kamar daripada ikut ramai memelototi siaran terkutuk itu. jadilah diriku ini pertapa ditengah keramaian. orang lain berkumpul bercengkerama, aku sendirian saja.

tapi tidak mengapa. semenjak kecil aku memang lebih akrab dengan kesendirian daripada keramaian. aku lebih nyaman bersama benda benda mati berlabel mainan daripada berkumpul bersama sesama manusia.

bahkan tahun kelahiranku pun seolah mengisyaratkan bahwa aku akan hidup dalam alam yang berbeda. 1984 adalah tahun dimana generasi yang lahir dikampungku hanya diisi oleh dua orang saja. aku dan seorang lagi. nasib keduanya sama. kami sama sama asing di kampung halaman dan sibuk berjuang untuk mencari tempat kami di dunia ini. perjuangan yang seringkali gagal

aku ingat masa masa kecilku. terlalu muda untuk bergaul dengan rekan rekan yang lain. terlalu besar untuk bermain dengan generasi sesudahnya. tapi alasan utamanya sebenarnya lebih dalam dari itu. itu telah ada didalam darahku.

mungkin kalau ada psikolog jaman SD, mesti ini hasilnya. Firman Syafei : semenjak kecil, sudah terlihat cukup cerdas dalam pelajaran, tapi cukup bodoh untuk memahami cara bergaul dengan sesama. tidak betul betul bisa cocok dalam kelompok. kurang dalam sosialisasi. outsider

tapi itu semua bukan murni kesalahanku. pergaulan selalu didasarkan kepada kesamaan minat. entah itu mainan baru, video game, olahraga, musik, ketenaran, atau kepintaran. aku tidak pernah punya mainan yang bisa dibanggakan waktu itu, tidak mampu membeli video game, tidak punya bakat olahraga, gagap bermusik, miskin ketenaran, dan selalu kalah dalam kepintaran dari bintang kelas. temanku banyak, tapi tidak benar benar bisa akrab.

menginjak SMU, semuanya semakin kapitalis. aku menjadi orang pinggiran di pusaran elit perkotaan. atau setidaknya itu yang aku pikir waktu itu. Seperti semua anak yang baru puber. Diriku mencoba mencari jati diri. Tapi maaf saja, di kota, jati diri ditentukan berapa uang yang kau miliki. Iri sekali jika melihat kawan kawan yang jadi pusat perhatian. envy.. dan dada semakin sakit ketika kau bertemu cinta pertamamu dan detik itu pula kau tahu.. bahwa cinta itu untuk dilupakan. dia putri angsa dan putri angsa butuh pangeran berkuda. sayang sekali, kuda tersebut telah ditambatkan dan sang pangeran telah menanti. so i killed the very first love.. it died painfully.

kuliah. kuliah bagi keluargaku adalah satu kata yang asing sampai tahun 2002 tiba. tak satupun anggota keluargaku yang jejak sendalnya pernah menginjakan kaki di lantai para cendikia. manusia semakin aneh aneh saja. ekstrim kanan, ekstrim kiri, idealis, agamis, hedonis, komunis, ateis, sosialis, hipokrit, anarkis, oportunis,tinggal pilih saja. aku lebih memilih belajar dengan baik. aku semakin baik dalam berorganisasi, tapi bukan dalam sosialisasi. bertahun tahun aku mendengar sebuah terminologi asing yang bertahun tahun pula aku tidak pernah miliki. terminologi itu bernama : "teman curhat"

face it lad, i dont have it. aku menelan mentah mentah semua masalahku dan ku selesaikan semampuku. beruntung Allah bermurah hati sehingga sebagian besar masalah itu berlalu. kecuali ketika sahabatku berhianat dan meninggalkan lubang besar di hatiku. lubang itu menamakan dirinya sendiri "monumen kebodohan firman syafei". pada lubang itu aku menggoreskan ungkapan kepahitan abadi : homo homini lupus, kata latin yang berarti manusia adalah serigala untuk manusia lainnya. temanku itu salah satunya.

baiklah, sekarang bekerja. aku menjadi pertapa di kost. aku kesulitan untuk memahami gaya pergaulan teman teman. beda budaya, beda cara. jadilah aku disini saja, berteman dengan kotak berlayar. dikantor cukup sulit juga. baru kemarin-kemarin bisa menemukan teman ngobrol.

tapi aku tetap seorang penyendiri.