Sabtu, 29 Juni 2013

MUSHOLA DAN TOILET (ke arah sini)

Berapa kali pemandangan ini kita lihat? satu kali, dua kali? Tanda penunjuk arah ini ada dimana-mana, di terminal, pusat perbelanjaan, bandara, dan pusat keramaian lain di daerah berpenduduk mayoritas muslim. Tanda penunjuk arah ini menjadi demikian lumrah sehingga tak banyak orang (atau mungkin tidak ada?) yang memikirkannya lebih dalam. Aktifitas orang-orang memang demikian menyita waktu dan perhatian, sehingga merenung masuk daftar terakhir hal yang ingin dikerjakan. Orang banyak lalu lalang di depan papan ini dan menerimanya begitu saja. Kalaupun beberapa menaruh perhatian, pilihannya tinggal dua saja : ingin ke mushola, atau toilet. Maaf, ternyata ada pilihan ke tiga, pergi kedua-duanya. 

Mushola dan Toilet, berapa kali kita lihat papan penunjuk arah yang menyatakan bahwa dua tempat yang derajatnya terpisah antara bumi dan langit ini ternyata di berada di lokasi yang sama (oke saya ralat, biasanya bertetangga). Dan memang seperti demikian adanya, umumnya keduanya berdekatan di lokasi sisa yang tersedia seadanya. Agar tidak melebar ke mana-mana, mari kita bahas kebiasaan yang terjadi di pusat perbelanjaan, atau kita sebut saja Mall.

Anda mungkin pernah mengalami pengalaman ini. Maghrib telah tiba, dan anda sedang menunggu waktu untuk menonton film di bioskop (okay.. ini istilah jadul) yang kebetulan dimulai 1 jam lagi. Sebagai seorang muslim yang taat, anda mencari mushola terdekat untuk menunaikan kewajiban. Setelah menghabiskan waktu pencarian yang melibatkan tengok kanan kiri, tanya arah kesetiap satpam yang tersedia, maka anda menemukan arah yang tepat karena didepan anda terpasang papan yang modelnya tidak jauh seperti ini :

seperti terlihat diatas, anda tidak dizinkan untuk merokok di kantor pengelola dan toilet, terutama mushola


Anda berfikir, pencarian usai sudah. Setelah sholat anda akan mengantri masuk ke studio yang tertera di tiket. Popcorn dan soda, ah itu pilihan yang tepat, mungkin juga dengan tambahan coklat. Sembari berjalan ke arah mushola anda sibuk memikirkan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk ritual malam mingguan sakral ini (sedihnya, seringkali tidak melibatkan persiapan untuk shalat). Tersadar dari lamunan, anda menghadapi kenyataan seperti ini :


 Andai saja di depan antrian ini terdapat seseorang berbaju PNS, kita akan mengira ini adalah pembagian raskin

Untuk sebuah Mall dengan kapasitas besar, pengelola hanya menyediakan ruangan yang relatif sempit untuk mayoritas konsumennya yang Muslim. Keadaan diperparah dengan jalur keluar masuk yang hanya satu saja. jadilah antrian panjang yang melibatkan mereka yang hendak wudhu, keluar/masuk mushola dan mereka yang sedang hendak membuka/memakai sepatu (ya hadirin, sepatu memang memakan waktu. Maafkanlah kami yang memakai sepatu). Andaikan saja ini adalah antrian konser dangdut, hanya masalah waktu untuk terjadi kerusuhan. Disinilah, disaat antrian seolah tidak beranjak maju, Setan datang dan dengan murah hati mengingatkan bahwa film sebentar lagi akan dimulai.  

Maaf ya, studio bioskop tidak mengenal delay hahahahaha...

Terdengar tidak asing? karena memang kejadian ini banyak terjadi di berbagai pusat perbelanjaan. Bahkan untuk saya yang bukan maniak belanja, sering sekali saya mengalami pengalaman yang sama. Mushola jarang sekali terlihat di depan. Seringkali saya harus mencari sampai ke parkiran basement. Beberapa demikian kecil, sehingga banyak yang harus menunggu di luar. 

Sekarang mari membahas toilet. Seperti paragraf pertama tulisan ini, saya penasaran dengan fenomena yang memasukan mushola dan toilet dalam papan pengumuman yang sama. mari saya tunjukan satu contoh lain :



Secara mudah, kita bisa memahami bahwa, jalur ke arah mushola dan toilet adalah sama. Kemungkinan  keduanya berada lokasi yang sama. Meski tidak terdapat data yang pasti mengenai lokasi mushola dan toilet (apakah mereka bersampingan, berdekatan atau terpisah cukup jauh), mayoritas dari kita akan mudah meloncat pada kesimpulan bahwa memang keduanya bersampingan atau berada di lokasi yang relatif dekat. Perlu diingat, bahwa banyak Mall yang menempatkan mushola dan toilet cukup berjauhan.

Meski saya sangat yakin pihak developer dan pengelola gedung tidak bermaksud untuk melecehkan nilai tempat ibadah. Kondisi ini membawa kita pada satu kenyataan sedih. Bahwa mushola (pada dasarnya) tidak lebih dari penting dari toilet. Dalam konteks sosial, papan diatas bisa diartikan bahwa mushola dan toilet berada dibawah lift dan loading dock. 

Harap dicatat, saya tidak ingin menyimpulkan dan lancang berani untuk menulis bahwa di Mall, tempat ibadah kaum muslim sama derajatnya dengan toilet. Developer dan pengelola gedung jelas tidak hendak melecehkan agama dan ibadah para muslimin. Kita harus ingat kembali, bahwa Mall memang dibangun sebagai pusat perbelanjaan. Ini adalah tempat dimana para wanita kehilangan kontrol atas kartu kredit ketika diskon diatas 25% (okay, ini cuman bercanda.. atau jangan-jangan...).

Saya harus ekstra hati-hati untuk mengatakan ini, tapi Mall bukanlah tempat untuk beribadah dalam arti tempat ini memang dirancang untuk memenuhi kebutuhan berbelanja dan hiburan masyarakat. Dengan tingkat investasi yang demikian besar, setiap jengkal ruang perlu dioptimalkan untuk kepentingan profit. Itulah kenapa toko-toko menempati ruang-ruang terdepan, sementara fasilitas umum (mushola, ruang laktasi, dan toilet) berada di lokasi-lokasi yang tidak bisa dijual/disewakan (tidak heran, lokasinya selalu dibelakang). Dengan orientasi profit yang demikian tinggi, didukung tidak adanya aturan yang memaksa para pemilik Mall untuk menyediakan fasilitas publik, maka mushola hanya menjadi prioritas nomor buncit dari tata letak gedung. Dengan demikian, terjadilah "kecelakaan" dimana mushola dan toilet berdempetan di lokasi yang sama.

Dalam konteks filosofi, "penyamaan" lokasi mushola dan toilet pada akhirnya mengarah pada kesedihan satu lagi. Di beberapa Mall dengan fasilitas mushola yang tidak layak, Kita pergi ke sana bukan untuk beribadah dan melepaskan diri dari duniawi, tapi sekedar melepaskan kewajiban. Khusus saat salat maghrib, sangat terasa nuansa terburu-buru mengingat masih banyak orang yang mengantri di belakang. Tapi ini juga bisa dilihat sebagai berita positif dimana di jantung kiblat konsumerisme, masih banyak orang yang mengingat Tuhannya. Tapi tampaknya saya terlalu terburu-buru tentang "sekedar melepaskan kewajiban", karena pada dasarnya tak seorangpun tahu kualitas shalat seseorang selain dia sendiri dan Allah. 

Akhirnya, tetap saja saya tidak bisa menghilangkan suara kecil di kepala yang terus menerus menyatakan bahwa pada dasarnya penempatan mushola dan toilet yang berdempetan merupakan fakta sosial dimana urusan sholat tidak sangat jauh lebih penting dari pada (mohon maaf sebesar-besarnya) urusan biologis tubuh. Tapi itu adalah kesimpulan yang memang terlalu ekstrem dan penjelasannya tidak sesederhana itu seperti yang sudah saya tulis diatas. 

Harus diingat bahwa, penyediaan ruangan mushola merupakan kebijakan pengelola dan bisa saja mereka memutuskan untuk tidak melakukannya. Oleh karena itu, alih-alih berfikir negatif terhadap pengelola Mall, mari kita melihat mereka sebagai para Kapitalis yang berbaik hati untuk memberikan ruangan kepada kebutuhan rohani kita. Karena bisa saja mereka menggunakan ruangan sisa untuk gudang, ruang rapat atau lainnya. Prinsip yang sama berlaku untuk hotel-hotel yang menyediakan parkiran mereka untuk pelaksanaan solat jumat. Para direktur dan manajer tidak bertanggung jawab atas solat atau tidaknya kita, mereka bertanggung jawab atas keberlangsungan bisnis. Selain itu, kita harus faham bahwa mushola menggunakan air dan listrik yang pada dasarnya tidak memberikan keuntungan ekonomi (saat ini saya menggunakan hitungan manusia dan bukan hitungan Allah). Dengan demikian, para pengelola Mall telah berbaik hati memberikan semua fasilitas yang kita butuhkan untuk menjalankan ibadah sehari-hari secara gratis. Ya, saya ulangi lagi, Gratis. Jadi, daripada melihat mushola Mall yang sempit sebagai gelas setengah kosong, mari melihatnya sebagai Gelas setengah isi. 

Jadi apa yang perlu dilakukan?

sholat adalah kebutuhan sehari-hari, dan setiap muslim akan dimintai tanggung jawab secara personal. Percuma saja menyalahkan pengelola Mall ketika anda ketinggalan shalat ketika berbelanja. maka sebagai seorang saudara sesama muslim, saya sarankan beberapa tips dibawah ini :

  1. kunjungi halaman ini : (atau copy alamat websitenya : http://www.kaskus.co.id/thread/000000000000000016448083/sharelokasi-musholla-di-mall-amp-pusat-perbelanjaan). Disini bisa dilihat kondisi mushola di beberapa Mall di jabotabek.
  2. Khusus sholat maghrib, jika terdapat masjid di luar Mall, lebih baik keluar sebentar mengingat mayoritas Mall memiliki ruang mushola yang sempit dan berdekatan dengan toilet yang kemungkinan besar semakin menghambat lalu lintas.
  3. Jika masjid terdekat cukup jauh, khusus salat magrib akan lebih baik jika anda sudah berada di mushola beberapa menit sebelum adzan. Dengan demikian, anda tidak akan terjebak dalam kemacetan lalu lintas ketika orang-orang berbondong-bondong ke mushola. akan lebih baik langkah yang sama diterapkan untuk semua waktu salat.
  4. Jika ada developer muslim dan kebetulan dapat proyek membuat Mall, rancanglah tata letak yang menyediakan fasilitas mushola yang layak. jika para investor protes, sampaikanlah bahwa masjid ini akan mejadi salah satu sarana promosi dimana para konsumen muslim akan lebih nyaman untuk berbelanja di Mall yang sedang anda bangun. Yakinkanlah para investor, bahwa promosi ini akan membangun kedekatan personal antara Mall dan konsumen yang dalam jangka waktu lama akan membangun kesetiaan merk dalam berbelanja.
  5. Jika anda bukan developer dan anda kebetulan aktivis muslim, bangunlah gerakan membangun masjid yang berada di dekat Mall. Jelas, harganya akan sangat mahal, mengingat sebagian besar pemilik lahan lebih tertarik membangun kontrakan atau parkiran. Tapi kita bisa belajar dari Ustad Yusuf yang berhasil dengan program penghafal Qurannya. (urusan mushola dan masjid ini akan saya bahas di artikel berikutnya).
  6. Kalau anda bisa, lebih baik salat dulu, baru belanja ke Mall.
  7. Atau anda bisa menggalang dukungan agar semua muslim di kota anda menyurati walikota untuk menuntut pemda menyediakan sarana solat yang layak dan terjangkau dari Mall dan pusat keramaian yang lain.

okay, semoga Allah menerima sholat kita dan membuka hati para pengelola Mall agar mereka mau untuk lebih berbaik hati untuk meningkatkan kelayakan sarana mushola dan Mall masing-masing. Amin

2 komentar:

  1. halo.. kalau boleh berpendapat sedikit dari sudut pandang perancangan tata letak musholla dan toilet kenapa selalu berdekatan.. tanpa bermaksud yang lain2 pertimbangannya semata2 karena kemudahan instalasi air bersih air kotor dalam suatu bangunan :) cuma memang ada bbrp tempat yg melupakan kenyamanan dan 'kesucian' untuk beribadah tergantung perencana dan developer nya concern gak di poin itu..
    begitu... terimakasih dan maaf sebelumnya :) :)

    BalasHapus
  2. nice post, semoga mushola-nya digedein lagi, dijaga kesuciannya,

    BalasHapus