Perjuangan itu
selalu pahit. Siang itu di
sebuah bukit yang gersang, seorang laki-laki menyeru kepada masyarakat
di kotanya untuk menuju jalan kebenaran. Sendirian, laki-laki itu harus menghadapi
kaum yang telah terjangkit kapitalisme, premanisme, rasisme, dan hedonisme yang
akut.
Apa yang dihadapi Laki-laki itu bukanlah
sesuatu yang main-main. Wahyu Kebenaran yang hendak disampaikannya berhadapan
langsung dengan kepentingan para tokoh dan pemuka kaum yang menginginkan agar
status quo tetap dipertahankan. Para tokoh dan pemuka khawatir bahwa dakwah
yang disampaikannya akan merusak tatanan sosial yang selama ini menguntungkan
mereka. Demikianlah, laki-laki tadi kini ibarat menggenggam bara api.
Sang Laki-laki tadi begitu resah melihat
kemerosotan yang terjadi di kota
kelahirannya itu. Masyarakat
di kotanya telah hidup terlalu lama dalam bayangan kegelapan. Kegelapan yang dipenuhi
perang antar suku, kekerasan, penistaan wanita, perjudian, kebodohan, pembunuhan
anak-anak dan perbudakan. Hatinya berteriak, jiwanya gundah.
Setelah sekian lama berdakwah secara
sembunyi-sembunyi, Muhammad, yang kelak akan memimpin sebuah pergerakan yang
menggoncang dunia, memutuskan untuk menyuarakan kebenaran di hadapan kaumnya. Bukit itu, Shafa, menjadi saksi
kebulatan tekadnya. Kebenaran haruslah disampaikan dengan terang. Kebenaran
haruslah diteriakan.
Sejarah kemudian
mencatat dahsyatnya penentangan yang menimpa Muhammad dan kaum Muslim. Dengan
jumlah yang tidak seberapa, kaum muslim harus dihadapkan pada boikot ekonomi, terror sosial, pengusiran,
penyiksaan, bahkan pembunuhan.
Apakah semua kekejian tersebut merubah caranya
menyampaikan kebenaran? Tidak. Muhammad Sang Rasul tetap santun pada tetangga
Quraisy yang terang-terangan menginginkan nyawanya. Beliau tetap berlaku adil
kepada Yahudi yang secara frontal menantang dakwahnya. Baginya, dakwah hanyalah
bisa disampaikan melalui kebaikan dan kesantunan. Kebenaran tidak bisa
disebarkan melalui ujung pedang dan laras senapan. Kebenaran hanya bisa
bertempat dihati yang lapang.
Sejarah mencatat, manusia melupakan. 14 abad
yang lalu Rasulullah mencontohkan secara sempurna bagaimana sebuah pesan harus
disampaikan dan perjuangan dilakukan. 14 abad kemudian, orang melupakan. Kini pesan
disampaikan melalui aksi aksi anarkis. Perjuangan atas nama rakyat disebarkan
dengan kepulan asap, lemparan batu, ayunan kayu dan barang-barang yang dibakar.
Sore kemarin aku menjadi saksi bagaimana ribuan
orang di seluruh Indonesia melupakan kebijakan sang Rasul. Suara hati rakyat
untuk menolak kenaikan harga BBM diterjemahkan dengan mengorbankan rakyat itu
sendiri. Di satu daerah, mahasiswa bentrok dengan warga karena para “aktivis”
menjarah sebuah rumah makan dan merusak harta warga. Didaerah lain, (lagi-lagi)
mahasiswa mencegat truk-truk pengangkut LPG untuk kemudian di jarah. Robin hood
jadi tameng mereka. Para aktivis karbit tersebut mengira bahwa dengan merampok
LPG milik rakyat dan membaginya kepada rakyat lain, maka mereka telah lengkap
menjadi seorang “aktivis”. Label aktivis juga menjadi tameng untuk menghalalkan
mahasiswa untuk mencegat kendaraan publik untuk dirusak. Polisi seolah menjadi
warga kelas dua yang halal dilempari batu, sementara pendemo menjadi orang suci
yang bebas dari kesalahan. Lagi-lagi sekedar karena label aktivis. Kalau sudah
begini, sungguhlah pantas jika masyarakat menurunkan derajat “perjuangan” para
aktivis menjadi sekedar pembuat onar dan kerusuhan.
Terima kasih kepada “aktivis” yang menyuarakan
suara hari rakyat dengan begini primitif, rakyat pun jengah. Aksi demo berjalan
sambil lalu. Masyarakat menanti usai para pendemo menggelar aksi, semata-mata
karena demonstrasi hanya memacetkan lalu lintas. Aktivis tak lagi dinanti. Para
sopir bajaj dan taxi bermunajat agar mereka tak lagi memblokir jalan. Warga
mengusir mereka. Aktivis menjadi makhluk asing untuk rakyat yang konon
dibelanya.
Aku ingat ketika disana bersama para sahabat
meneriakan aspirasi menolak kedatangan penjajah George W Bush ke tanah air.
Amerika kala itu aktif menyebarkan perang ke seluruh penjuru dunia. Oleh karena
itu tidak ada pilihan lain, Bush harus pergi jauh-jauh. Para sahabat melakukan
aksi dengan merapatkan diri menjadi pagar betis menjaga istana bogor. Kala itu
hujan menyirami dan para sahabat tetap disana, diam tak bergerak. Diselingi
sejenak istirahat dan munajat kepada sang Khalik, aku ingat bahwa kami
berbincang akrab dengan para polisi. Terkadang saling menggoda.
Dua sisi yang bersebarangan, masing-masing
melakukan apa yang diyakini. Kami meyakini bahwa Bush adalah Hitler yang
bangkit kembali. Para petugas meyakini bahwa keamanan dan ketertiban haruslah
ditegakkan. Tak ada ban yang dibakar, tak ada batu yang dilempar. Kami hanya
ingin meneriakan suara hati. Syukurlah para polisi mengerti. Di akhir sore,
kami semua pulang, karena hidup bukan sekedar aksi-aksi jalanan. Cukuplah Bush
tahu, dirinya tak diinginkan disini.
14 abad yang lalu. Rasulullah membebaskan
Mekkah dari cengkeram kegelapan dengan dakwah yang santun dan tindakan nyata.
Beliau menjadi bagian dari solusi dan menjadi motor dari solusi itu sendiri. Kemarin,
demonstrasi menolak kenaikan harga BBM berubah ricuh, puluhan orang ditangkap
dan jatuh korban luka-luka. Ironis, masyarakat tak merasa dibela. Sore kemarin
para sahabat lebih memilih pasrah dan berharap cemas menunggu pulang.