Kamis, 17 Januari 2013

MASA DEPAN PERMODALAN USAHA KECIL (BAGIAN I)

Pembiayaan, atau banyak orang menyebutnya sebagai permodalan, selalu menjadi masalah utama bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk mengembangkan usahanya. Apalagi ketika baru akan memulai usaha. Berapa banyak ide ide kreatif yang harus terhambat hanya karena pemilik ide tersebut tidak memegang lembaran-lembaran rupiah yang memadai untuk mendanai usahanya. Begitu juga yang dialami oleh sebagian besar pelaku usaha di Indonesia. Mayoritas pelaku usaha di indonesia adalah UMKM dan sebagian besar dari mereka kesulitan dalam pendanaan.
Di era globalisasi ini, dimana saya lebih nyaman menyebutnya era tarung bebas, faktor dana menjadi sangat berpengaruh dalam dunia usaha. Dalam beberapa tahun ini, UMKM nasional dihadapkan kepada medan pertarungan (atau pembantaian) bernama pasar bebas. Prinsip utama dari pasar bebas adalah semua orang berhak untuk masuk dan berusaha kemana saja, dengan hambatan yang seminim mungkin. Diatas kertas, konsep ini indah nian. Seolah-olah semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk berusaha dan mengais (atau menggaruk?) rezeki. Konsep ini selintas menggambarkan keadilan sosial untuk semua, bahwa kue ekonomi tidak dimiliki sekelompok orang saja.
Faktanya? Maaf saja, jauh dari kertas tadi. Ya, bahwa pada pasar bebas, semua orang merdeka untuk berusaha dimana saja. Tapi disinilah masalah dimulai. Untuk memudahkan diskusi ekonomi ini, mari kita mengandaikan bahwa ekonomi adalah hadiah yang diperebutkan dan pasar adalah ring tinju dimana para pelaku usaha adalah petinjunya. Alih-alih membagi-bagi pertandingan tinju ke berbagai kelas sesuai beratnya, pasar bebas mempersilahkan Mike Tyson untuk bertarung melawan (dengan segala hormat) Chris John. Sulit membayangkan Pahlawan kita Chris John menjadi sansak hidup si Leher Beton. Tapi itulah yang terjadi saat ini, masih tidak percaya? Tengoklah warung – warung kecil yang sekarang sekarat dihajar usaha-usaha tertentu yang namanya kompak berakhiran “Mart”.

Hebatnya, banyak orang percaya bahwa ini adalah “siratal mustaqim”, jalan lurus menuju kemaslahatan bangsa. Pasar bebas dianggap mantra menuju kesejahteraan. Apakah orang-orang itu salah? Ternyata tidak juga. Secara makro, pada beberapa tahun terakhir bangsa Kita mengalami pertumbuhan yang progresif. Ketika orang eropa sibuk memikirkan nasibnya esok hari, orang indonesia merayakan pertumbuhan ekonomi yang hanya bisa disalip oleh Cina dan India. Bahkan ketika awal tahun 2013 ini, para pengamat ekonomi bermufakat bahwa krisis eropa dan amerika belum akan berakhir, Dewan Gubernur Bank Indonesia masih yakin bahwa ekonomi kita akan tumbuh setidaknya di level 6%. Luar biasa bukan?

Namun kisah indah ini berhenti di level makro, pertumbuhan sebanyak 6% pertahun yang kita nikmati beberapa tahun ini ternyata tidak dinikmati semua orang. BPS baru-baru ini mengeluarkan data indeks GINI Indonesia yang sekarang menyentuh angka 0,41. Apa artinya?
Indeks GINI adalah indeks yang mengukur seberapa jauh jarak antara si Kaya dan si Miskin. Angka O berarti sama sekali tidak perbedaan antara kaya dan miskin (yang tidak mungkin terjadi meski diidam-idamkan para komunis selama ini). Sementara angka 1 mengisyaratkan lagu dangdut yang liriknya “yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin”. Negara indonesia telah mencapai indeks GINI 0,41, semakin memburuk dari posisi tahun 2004 yaitu pada level 0,33. Saya tidak mau berbicara politik disini, tapi menengok pada indeks GINI, mungkin ideologi Ekonomi Kerakyatan yang selalu diusung golongan tertentu tampaknya kembali tepat untuk ditengok kembali.
Tapi ya sudahlah, nasi sudah jadi bubur dan buburnya kadung semakin encer. Apapun kebijakan pemerintah saat ini, harus kita akui telah membawa kesejahteraan bagi bangsa. Angka kemiskinan jelas menurun, angka pengangguran juga menurun. Pembangunan memang tidak secepat yang kita inginkan. Kemiskinan memang masih banyak. Tapi bukankah mengurus rumah tangga saja demikian menguras energi dan waktu, apalagi mengurus negara? Apalagi mengurus orang indonesia yang terkenal susah diatur. Tidak percaya lagi? Coba sekali-kali menggusur PKL yang jelas-jelas liar tapi nyata-nyata jadi gantungan kenyangnya perut ribuan orang.
Banyak usaha-usaha kecil yang tutup karena dihajar jaringan bisnis berotot baja. Dengan kekuatan dana yang dimilikinya, mereka bebas berekspansi kemanapun, dimanapun. Mari kita berhenti sejenak disini.

Apakah kondisi ini sesuatu yang SANGAT buruk? Apakah perusahaan waralaba berakhiran “Mart” itu memang betul-betul perusahaan jahat yang membunuh ekonomi keluarga-keluarga kecil?

BURUK untuk usaha kecil? YA. MEMBUNUH ekonomi keluarga kecil? pada beberapa situasi YA. Tapi kalau kita mau jujur, itulah hukum alam. Semut selalu diinjak dan Gajah selalu menginjak. Apapun debat ekonomi yang kita ajukan, akan selalu ada pihak yang menang dan pihak yang kalah. Pertandingan tinju akan selalu melahirkan pemegang sabuk juara. Pertandingan sepak bola tidak pernah diakhiri dengan “kemenangan bersama”. Di akhir hari, akan selalu ada yang tersenyum dan akan selalu ada yang menangis. Getir memang, tapi itulah hidup. Disisi lain, kita tidak bisa melarang usaha-usaha besar untuk mengembangkan usahanya. Ingat, mereka juga menanggung hajat hidup ribuan orang.

Pasar bebas juga berarti pelaku usaha dan produk dari negara lain bebas untuk masuk ke negara kita. Kini negara kita dibanjiri oleh barang-barang dari negara lain, mulai dari “daleman” sampai jaket, dari peniti sampai mobil. Disisi lain, kita punya kesempatan yang sama untuk mengirim produk buatan kita ke negara-negara di seluruh dunia. Cukup adil sebenarnya, tapi mengingat banyak UMKM kita yang sebenarnya masih kelas “gurem”, maka ketika para kelas berat datang baik dari dalam negeri atau dari negeri nun jauh di seberang, hasilnya sudah bisa ditebak. Para pelaku UMKM bertumbangan persis pin bowling.

Mayoritas UMKM di indonesia pada dasarnya lemah di berbagai aspek. Mulai dari pengelolaan usaha yang masih tradisional, penguasaan teknologi yang rendah, informasi pasar yang minim, ketidak pastian produksi, kualitas produk yang tidak bisa bersaing dan ketidak mampuan untuk mengakses sumber-sumber pembiayaan. Tidak heran, ketika pesaing mulai bermunculan, usaha-usaha seperti ini sangat mudah untuk gulung tikar.

Dengan demikian banyak masalah yang harus diatasi, kira-kira poin mana yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Menurut saya, faktor pembiayaan lah yang perlu kita selesaikan terlebih dahulu. Dengan memastikan bahwa UMKM memiliki pendanaan usaha yang memadai, mereka bisa mengembangkan bisnisnya ke level yang memadai untuk bersaing di pasar bebas. Faktor-faktor pendorong usaha seperti penguasaan teknologi, informasi pasar dapat dikuasai menggunakan faktor modal yang telah dimiliki.

Namun demikian, tidak semudah itu kita menyediakan kucuran rupiah untuk membiayai UMKM. Mayoratis UMKM belum dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan perbankan untuk mengajukan pinjaman. Ketidakpastian pasar dan produksi, kelemahan pengelolaan keuangan, dan ketidakmampuan menyediakan jaminan menjadi faktor-faktor utama keengganan perbankan untuk memberikan pambiayaan. Hal ini tidak bisa disalahkan, karena perbankan harus memegang prinsip kehati-hatian dalam mengelola dana nasabah untuk menghindari terjadinya kredit macet. Pada dasarnya, Kredit macet bukanlah berita bagus, baik di telinga nasabah, pemegang saham, pejabat di Bank Indonesia, terutama bagi karir para pegawai bank yang “khilaf” menyetujui kredit macet tersebut.

Memang terdapat sumber pembiayaan lain seperti CSR, PKBL, hibah pemerintah dan lainnya. Namun dengan jumlahnya yang terbatas, maka sumber-sumber ini tidak mencukupi kebutuhan nasional. Oleh karena itu, apa selanjutnya yang perlu dilakukan?

Selain pembinaan dari pemerintah kepada para UMKM terkait keterampilan-keterampilan seperti pengelolaan keuangan, teknologi produksi dan informasi pasar. Langkah yang harus dilakukan haruslah berasal dari pelaku UMKM sendiri. Ketika selalu menjadi sasaran injakan Gajah, semut melakukan hal paling rasional yang harus dilakukan. Mereka bersatu membentuk koloni.

Dimasa dimana pasar dipenuhi para gajah yang berekspansi ke seluruh penjuru. Para pelaku UMKM haruslah bersatu membentuk jaringan usaha atau model kemitraan yang memungkinkan mereka untuk beroperasi seefisien raksasa pesaingnya. Kita tidak perlu jauh-jauh mencari model bisnis yang memungkinkan hal ini terjadi. Karena Bapak pendiri Bangsa, Pak Hatta telah menekankan pentingnya Koperasi sebagai model ekonomi nasional.

Ya, koperasi adalah model kemitraan usaha yang memungkinkan para semut untuk bekerjasama dan beroperasi dengan efisiensi dan kecepatan yang bisa menyamai usaha-usaha besar. Dengan pengelolaan yang baik dan profesional, model koperasi bahkan akan mampu mengangkat skala anggotanya ke level yang lebih tinggi. Bukankah semut pada akhirnya menggigit juga. Terutama mereka yang tidak pakai sepatu

Bagaimana teknis konsep ini dilakukan, saya akan lanjutkan di bagian selanjutnya...



4 komentar:

  1. Mike tyson vs Chris Jhon, sy suka dg istilah ini beh.. klo keduanya bener2 ingin bertarung di ring bebas, tanpa ada persiapan dan strategi jitu dari chris jhon, sudah dipastikan chris jhon kurang dalam 1 ronde akan bonyok alias KO.. jadi persiapannya apa? persiapan pertama adalah "menguatkan mental si chris jhon,menyadarkannya bahwa mike tyson sangat kuat tapi bukan berarti tak ada kelemahannya.. lalu mendampingi dan memotivasinya". Strateginya apa? cb sat strategi ini dulu: satu semut lawan satu gajah, ga ada sejarah semut bakal menang dlm pertandingan kecuali di dunia dongeng, segerombolan semut melawan segerombolan gajah, gajahnya pun bisa kocar kacir dibuatnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya con modelnya seperti itu, tapi perlu ada kelembagaan yang fungsional. seperti koperasi. jadi memang UMKM ini perlu merubah modal operasionalnya.

      Hapus
  2. Waow, ulasan yang bagus Kang Firman...sisi lain seorang abdi negara, pelayan masyarakat. Semoga kebijakan pemerintah memang kebijakan yang mampu mensejahterakan rakyat. Ditunggu ulasan selanjutnya...dengan gaya khas Kang Firman Syafei.

    SALAM Semangat,

    Hadhi Saptiono

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah ada Kang Hadhi, pa kabar Mas? masih di ILNA? gimana kabar disana? ya ini ide saya soal pemberdayaan masyarakat. tidak melalui program pemerintah, tapi melalui kekuatan sendiri. program pemerintah itu sebagai pendukung saja.

      Hapus