Selasa, 23 Agustus 2011

catatan seorang Pertapa jilid 2

Nyamuk nyamuk beterbangan kesana kemari. Aku tak perduli. Berbulan bulan mereka menghilang kini mereka kembali. Biarlah saja. Memang sudah waktunya mereka ada. Seperti biasa, seperti tahun tahun sebelumnya.

Lagipula aku dan mereka punya perjanjian tidak tertulis. Mereka bebas menghisap darahku, dan sebagai balasannya aku bebas menghabisi nyamuk nyamuk malang yang terlalu rakus. Terlalu rakus sehingga mereka menjadi lamban dan tidak waspada. Perjanjian yang adil.

Lagipula para penghuni lain seperi cecak dan laba laba turut bergembira dengan kehadiran para nyamuk. Akan ada anak anak cecak yang sehat dan kenyang, akan ada laba laba muda yang meneruskan jejaring halus karya orang tuanya.

Itulah hidup, kematian yang satu merupakan kehidupan dari yang lain. Sangat adil. Karena cecak dan laba-laba hanya mengambil seperlunya. Selama perut mereka kenyang dan anak anak mereka terpenuhi kebutuhannya, tak perlu lagi membunuh. Tak perlu ada nyawa lain yang dikorbankan. Tak ada timbunan nyamuk dijaring laba-laba, karena tak ada perdagangan nyamuk antara mereka. Tak akan ada kenaikan harga bangkai nyamuk di pasaran.

Itulah hidup didalam kamar kostku. Cecak sibuk mencari nyamuk dan lalat. Laba-laba sibuk menjaring sisanya. Kecoa sibuk melarikan diri dariku, dan setelah para kecoa lari, aku sibuk menulis. Aku tak khawatir dengan nyamuk, karena mereka sibuk lari dari cecak dan laba-laba. Harmonis sekali.

Sebenarnya ada penghuni lain di kamarku. Jumlahnya banyak, bergerombol menghabiskan tempat. Kerjanya hanya diam dan menunggu ajal. Ajal yang akan sangat lama sekali berkunjung. Mereka tak pernah bergerak, kerjanya hanya diam dan berdebu. Jika telah berdebu, akulah yang kena batunya untuk membersihkan mereka. Sama seperti pernikahan, siapa suruh aku memasukan mereka kekamarku. Kamar yang kuanggap sebagai area privat yang tak sembarang orang boleh masuk. Karena mereka sudah menjadi penghuni tetap. Akulah yang harus mengambil tanggung jawab.

Tumpukan buku buku ini telah menemaniku selama bertahun tahun. Ada yang sudah tua dan menguning. Ada yang masih muda dan baru. Tapi mayoritas masih terawat. Harap maklum, aku tak mengenal istilah meminjamkan buku. Cintaku posesif. Bukuku hanya untuk aku. Selamanya. Jika mau membaca, silahkan saja. Tapi luangkan waktu membacamu di kamarku. Karena setiap pecinta akan remuk redam kalbunya melihat cintanya dibawa pergi. Intinya mudah saja kawan, kau boleh baca, Jangan dibawa pulang.

Aku semenjak kecil selalu dididik untuk menghargai buku. Terlebih lagi ketika buku adalah sebuah benda mewah dan ajaib untuk kami. Kebiasaan ini menular. Aku pernah mengkoleksi (atau tepatnya menyimpan) tumpukan Koran olahraga yang aku beli secara rutin selama bertahun tahun. Koleksi itu tetap ada ditempatnya sampai ketika ibu mengancam bahwa entah Koran Koran itu yang pergi atau baju bajuku yang akan disimpan diluar.

Jika para wanita menjadi gelap mata ketika bersentuhan dengan tas, perhiasan, hak tinggi, sepatu, baju dan benda benda duniawi lainnya. Aku menjadi begitu bersemangat jika ada di toko buku, dan ketika toko itu memasang harga diskon, aku serasa menghisap ganja dan melayang jauh ke angkasa.

Berapa lama yang kau habiskan untuk membaca novel harry potter? Tiga hari? Empat hari? Aku cukup satu hari. Berapa lama yang kau butuhkan untuk membaca novel Dan Brown? Aku cukup satu hari. Berapa lama yang kau butuhkan untuk membaca literatur social? Aku cukup satu hari. Sombong memang, tapi itulah kenyataannya. Pengecualian hanya terjadi untuk Al-Quran. Kitab ini adalah ilmu Allah yang Maha Luas, manusia selama berabad-abad belum selesai mengkajinya. Aku tak pantas menjadikannya arena pacuan adu cepat khatam. Tiap lembarnya adalah bijak dan selamatnya hidup. Tiap menit membacanya adalah dunia yang mengecil dan semesta yang semakin tersingkap. Kitab ini terlalu mulia untuk sekedar dibaca. Kitab ini adalah hidup manusia.

Sebagai pecinta buku, jangan heran jika hadiahku padamu akan berupa buku. Ketika aku menghadiahkan sesuatu untuk seseorang, itu artinya aku ingin mereka bahagia. Tapi ketika aku memberikan padamu sebuah buku. Itu artinya aku ingin kau membacanya dan berbahagia dengannya. Itu artinya aku ingin berbagi sepotong kehidupanku denganmu. Sebagian orang sayangnya, melihatnya sebagai membosankan.

Tapi menjadi pembaca buku tidak melulu berkutat dengan kertas-kertas. Ada kebijakan yang orang abaikan. Ada pemahaman yang orang lupakan. Ada tujuan yang orang belokan. Buku adalah kebijaksanaan yang merendahkan dirinya semata-mata supaya dia difahami orang banyak. Sebuah upaya yang mulia dengan hasil yang seadanya.

Biasanya orang yang hobi membaca pintar menulis puisi. Biasanya, tapi tidak juga. Tapi aku tahu pasti, orang yang hobi membaca banyak menulis puisi. Entah tentang gundah gulana, entah tentang riang gembira. Sekedar unek unek atau riuh riuh hari harinya. Tulisan mereka tajam, dipenuhi untaian kata kata yang banyak orang tak kenal atau dengar sebelumnya. Seringkali begitu aneh sehingga hanya Tuhan dan pembuatnya sendiri yang faham. Para pembaca buku memang selalu memiliki sisi yang hanya untuk mereka sendiri. Tidak untuk orang lain, tidak untuk diceritakan, tidak untuk dibagikan. Cukup Tuhan dan dia.

Nyamuk sudah pergi, pertanda koloni mereka kekurangan serdadu. Siklus kehidupan berputar cepat rupanya. Aku harus mengakhiri tulisan ini. Karena tak ada lagi yang perlu ku bagikan untukmu. Lagipula kau pasti malas menerima hadiah buku dariku.