Kamis, 03 Mei 2012

KENAPA KITA HARUS BERINVESTASI ? (3) : Mengelola pendidikan


  Untuk mereka yang sudah memiliki keluarga, biaya pendidikan adalah kebutuhan yang benar-benar memusingkan. Program pendidikan yang ditetapkan pemerintah menghabiskan waktu minimal 16 tahun. Untuk mereka yang mengambil jenjang lanjutan seperti S2 dan S3, waktu yang dihabiskan di bangku pendidikan adalah sekitar 21 tahun. Luar biasa, bayangkan saja, belasan tahun pembiayaan rutin yang mutlak harus dipenuhi. Hebatnya, biaya-biayanya tidak pernah menurun.

Dan seakan mengamini kesusahan para orang tua. Ramai-ramai perguruan tinggi negeri menaikan biaya pendidikan mereka. Kuliah kini mutlak hanya untuk mereka yang berkantong tebal. Memang ada beasiswa untuk mereka yang tidak mampu, tapi berapa sih yang disediakan? Dan berapa juga sih jumlah yang ditanggung beasiswa? Kenyataannya adalah (mohon ditelan mentah-mentah), biaya pendidikan akan mencekik leher anda. Gagal mempersiapkan biaya pendidikan sama saja dengan mengatakan kepada anak anda untuk melupakan sekolah.

Seorang teman menyarankan kepada saya agar ketika sudah menikah nanti memiliki program kelahiran anak. Dia menyarankan agar jangan sampai jarak antar anak tepat tiga tahun. Karena ketika si kakak masuk SMU, maka si adik masuk SMP.  Ketika si kakak masuk kuliah, si adik masuk SMU, ketika si kakak memasuki tahun terakhir kuliah yang biasanya menyedot biaya tinggi, si adik masuk kuliah. Itu jika anak anda hanya dua, bagaimana jika Tuhan memberi anda rezeki lebih dari dua anak?


Itulah mengapa pendidikan perlu dipersiapkan dengan sangat baik. Berbeda dengan rumah yang jelas cicilan dan jangka waktunya. Pendidikan kita “beli” secara mencicil dimana cicilannya justru semakin besar, baik karena jenjangnya yang memang semakin tinggi, maupun karena inflasi. Disinilah anda perlu membuat sebuah time line untuk menetapkan waktu dan perkiraan biaya yang harus dikeluarkan.

Mari kita bayangan sebuah pasangan keluarga muda yang baru membuka lembaran baru tahun ini. Bulan madu telah usai dan sekarang saatnya menghadapi dunia nyata. Mereka merencanakan untuk memiliki dua anak dan bermaksud untuk menyekolahkan mereka sampai ke jenjang S1 (katakanlah sang suami berprinsip S2 harus dibiayai sendiri oleh si anak). Sang Suami adalah seorang pegawai dan saaat ini berusia 28 tahun dengan ekspektasi pensiun pada usia 54 tahun. Dengan kondisi seperti ini, mari kita bayangkan bahwa timelinenya akan berkisar seperti ini :


 Dapat dilihat, rentang tahun 2025 sampai 2036 merupakan mimpi buruk pasangan muda tadi, dimana kebutuhan biaya pendidikan datang beruntun dengan nilai yang semakin tinggi seiring kenaikan jenjang pendidikan. Syukurlah, pasangan muda bahagia ini masih punya 13 tahun untuk mempersiapkan ombak yang tak bisa dihindari ini. Harap diingat 13 tahun bukan waktu yang lama, oleh karena itu hilangkan jauh-jauh bisikan yang mengatakan bahwa “masih ada waktu…”. Maaf saja, waktu tak pernah ada di pihak kita.

Pasangan pengantin muda ini kini telah memiliki sebuah rencana. Keduanya telah tahu persis apa yang akan mereka lakukan dimasa depan. Atau setidaknya mereka telah tahu kebutuhan apa yang harus dipersiapkan. Pertanyaan berikutnya adalah berapa nominal yang harus dipersiapkan untuk memenuhi semua biaya pendidikan itu? Pertanyaan ini mengantarkan kita kepada tabel kedua yang memasukan nilai nominal kedalam rencana pendidikan kita.
 
Berhubung kita sedang melakukan simulasi, mari kita andaikan bahwa pengantin baru ini bermaksud untuk menyekolah anak mereka ke sekolah swasta yang tidak mendapatkan alokasi bantuan  pemerintah. Ini penting untuk mempersiapkan hal terburuk (bukan sekolahnya) dalam arti biaya yang harus dikeluarkan.



-->
Oke saya tahu angka-angka diatas tidak bisa dijadikan patokan mengingat begitu banyak sekolah di luar sana dengan rentang biaya yang berbeda-beda pula. Namun demikian, bukankah dengan menuliskan tabel rencana berikut prediksi biaya (betapapun tidak akurat nilainya) membuat kita setidaknya memiliki gambaran standar yang perlu dipersiapkan? Anda bisa merubah-rubah tabel diatas sesuka hati, bagaimanapun andalah yang akan melakukannya bukan?

Kembali ke rencana tadi. Berdasarkan tabel rencana, maka calon ayah dan ibu ini harus memiliki dana khusus pendidikan (yang tidak bisa dipakai untuk kebutuhan lain) pada tahun 2019 sebesar Rp.22 juta. Mengapa bukan Rp.10 juta seperti pada tabel? Karena dua tahun kemudian keduanya kembali harus mengeluarkan dana sebesar Rp.12 juta. Dua tahun bukan waktu yang lama. Dengan kebutuhan lain yang harus dipenuhi juga, akan sangat memberatkan jika harus mengurangi alokasi anggaran di pos lain karena terburu-buru mengejar “target”. Oleh karena itu, sangatlah bijak jika pada tahun 2019, telah ada dana yang cukup, setidaknya sampai tahun 2021.

Dengan asumsi yang sama, pada tahun 2025 pasangan muda ini harus menyiapkan dana atau sebuah sistem investasi yang dapat memenuhi kebutuhan beruntun sebesar Rp. 260 juta untuk jangka waktu tahun 2025 – 2036 dimana diasumsikan pada tahun terakhir kedua anak telah selesai kuliah. Harus diingat kembali, biaya yang kita bahas hanyalah biaya masuk saja dan tidak memasukan pos pos lain yang terkait. Seragam, sepatu, tas, ongkos ke sekolah, sumbangan ini itu, dan hal-hal lain belumlah kita masukan.

Tabel diatas membahas keluarga dengan dua anak, bagaimana jika keluarga anda diberkahi dengan tiga, empat atau lima? Bagi saya yang jadi masalah bukan pada jumlah anaknya, tapi pada bagaimana anda menyiapkan masa depan mereka. Olah karena itu, bagi anda yang telah memulai sebuah keluarga, segeralah membuat perencanaan yang detail tentang bagaimana anda hendak menjalankan keluarga anda.

Disinilah saya tidak menyarankan para orang tua untuk menggantungkan investasi pendidikannya kepada bentuk tabungan saja. Tabungan sangat rentan untuk digunakan secara “tidak sengaja” dan ketika inflasi meningkat, nilai riil tabungan akan semakin menurun. Oleh karena itu perlulah bagi para orang tua untuk mempersiapkan dana pendidikan buah hati mereka dengan sistem investasi yang dapat menjamin keberlangsungan pendidikan bahkan ketika orang tua tidak lagi bekerja.

Ya. Anda tidak selamanya akan bekerja. Umur anda pun siapa yang tahu. Faktanya, ayah dan ibu tidak hidup selamanya. Begitu juga dengan kesehatan. Banyak kasus dimana orang tua berhenti bekerja karena kesehatan yang berkurang. Dalam konteks perencanaan keuangan, semuanya bermuara pada satu hal : hilangnya pemasukan dan jaminan masa depan.

Saya perlu mengingatkan bahwa investasi tidak melulu uang dan asset. Investasi dalam bentuk menjaga kesehatan adalah salah satu bentuk kasih sayang pada keluarga. Kesehatan tidak bisa dibeli dengan asuransi model apapun. Asuransi hanya membayar ongkos dokter dan sumah sakit, bukan membayar kesehatan anda. Oleh karena itu, bagi mereka yang gemar membahayakan kesehatannya dengan perilaku ekstrim, berhentilah jika anda memang menyayangi keluarga. Tidak perlu susah susah, bagi anda perokok, berhentilah merokok secara total. Uang yang biasanya anda bakar, gunakan untuk dana pendidikan. Mudah bukan? Saya pernah membahasnya pada artikel ini.

Dua bentuk investasi yang biasanya diambil adalah tabungan pendidikan dan asuransi pendidikan. Adapula yang berpendapat dengan menggunakan emas. Beberapa berpendapat dengan menggunakan instrument saham atau reksadana. Apapun yang anda pilih, pastikan paket yang dipilih memenuhi timeline keluarga anda.dengan demikian, memilih produk investasi bukanlah langkah pertama untuk menyiapkan pendidikan anak-anak anda. membuat timeline adalah yang terpenting. diskusikan dengan pasangan anda, tentang hal ini. jika anda telah memiliki perencanaan yang baik. maka memilih produk investasi bukan hal yang sulit lagi. selamat mencoba
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar