Untuk
mereka yang sudah memiliki keluarga, biaya pendidikan adalah kebutuhan yang
benar-benar memusingkan. Program pendidikan yang ditetapkan pemerintah
menghabiskan waktu minimal 16 tahun. Untuk mereka yang mengambil jenjang
lanjutan seperti S2 dan S3, waktu yang dihabiskan di bangku pendidikan adalah
sekitar 21 tahun. Luar biasa, bayangkan saja, belasan tahun pembiayaan rutin
yang mutlak harus dipenuhi. Hebatnya, biaya-biayanya tidak pernah menurun.
-->
Dan seakan mengamini kesusahan para orang tua. Ramai-ramai perguruan
tinggi negeri menaikan biaya pendidikan mereka. Kuliah kini mutlak hanya untuk
mereka yang berkantong tebal. Memang ada beasiswa untuk mereka yang tidak
mampu, tapi berapa sih yang disediakan? Dan berapa juga sih jumlah yang
ditanggung beasiswa? Kenyataannya adalah (mohon ditelan mentah-mentah), biaya
pendidikan akan mencekik leher anda. Gagal mempersiapkan biaya pendidikan sama
saja dengan mengatakan kepada anak anda untuk melupakan sekolah.
Seorang teman menyarankan kepada saya agar ketika sudah menikah
nanti memiliki program kelahiran anak. Dia menyarankan agar jangan sampai jarak
antar anak tepat tiga tahun. Karena ketika si kakak masuk SMU, maka si adik
masuk SMP. Ketika si kakak masuk kuliah,
si adik masuk SMU, ketika si kakak memasuki tahun terakhir kuliah yang biasanya
menyedot biaya tinggi, si adik masuk kuliah. Itu jika anak anda hanya dua,
bagaimana jika Tuhan memberi anda rezeki lebih dari dua anak?
Itulah mengapa pendidikan perlu dipersiapkan dengan sangat baik.
Berbeda dengan rumah yang jelas cicilan dan jangka waktunya. Pendidikan kita
“beli” secara mencicil dimana cicilannya justru semakin besar, baik karena
jenjangnya yang memang semakin tinggi, maupun karena inflasi. Disinilah anda
perlu membuat sebuah time line untuk menetapkan waktu dan perkiraan
biaya yang harus dikeluarkan.
Mari
kita bayangan sebuah pasangan keluarga muda yang baru membuka
lembaran baru tahun ini. Bulan madu telah usai dan sekarang saatnya
menghadapi
dunia nyata. Mereka merencanakan untuk memiliki dua anak dan bermaksud
untuk
menyekolahkan mereka sampai ke jenjang S1 (katakanlah sang suami
berprinsip S2
harus dibiayai sendiri oleh si anak). Sang Suami adalah seorang pegawai
dan
saaat ini berusia 28 tahun dengan ekspektasi pensiun pada usia 54 tahun.
Dengan kondisi seperti ini, mari kita bayangkan bahwa timelinenya
akan berkisar seperti ini :
Dapat dilihat, rentang tahun 2025 sampai 2036 merupakan mimpi buruk
pasangan muda tadi, dimana kebutuhan biaya pendidikan datang beruntun dengan
nilai yang semakin tinggi seiring kenaikan jenjang pendidikan. Syukurlah,
pasangan muda bahagia ini masih punya 13 tahun untuk mempersiapkan ombak yang
tak bisa dihindari ini. Harap diingat 13 tahun bukan waktu yang lama, oleh
karena itu hilangkan jauh-jauh bisikan yang mengatakan bahwa “masih ada
waktu…”. Maaf saja, waktu tak pernah ada di pihak kita.
Pasangan pengantin muda ini kini telah memiliki sebuah rencana.
Keduanya telah tahu persis apa yang akan mereka lakukan dimasa depan. Atau
setidaknya mereka telah tahu kebutuhan apa yang harus dipersiapkan. Pertanyaan
berikutnya adalah berapa nominal yang harus dipersiapkan untuk memenuhi semua
biaya pendidikan itu? Pertanyaan ini mengantarkan kita kepada tabel kedua yang
memasukan nilai nominal kedalam rencana pendidikan kita.
Berhubung kita sedang melakukan simulasi, mari kita andaikan bahwa
pengantin baru ini bermaksud untuk menyekolah anak mereka ke sekolah swasta
yang tidak mendapatkan alokasi bantuan
pemerintah. Ini penting untuk mempersiapkan hal terburuk (bukan
sekolahnya) dalam arti biaya yang harus dikeluarkan.
Oke saya tahu angka-angka diatas tidak bisa dijadikan patokan
mengingat begitu banyak sekolah di luar sana dengan rentang biaya yang
berbeda-beda pula. Namun demikian, bukankah dengan menuliskan tabel rencana
berikut prediksi biaya (betapapun tidak akurat nilainya) membuat kita
setidaknya memiliki gambaran standar yang perlu dipersiapkan? Anda bisa
merubah-rubah tabel diatas sesuka hati, bagaimanapun andalah yang akan
melakukannya bukan?
Kembali ke rencana tadi. Berdasarkan tabel rencana, maka calon ayah
dan ibu ini harus memiliki dana khusus pendidikan (yang tidak bisa dipakai
untuk kebutuhan lain) pada tahun 2019 sebesar Rp.22 juta. Mengapa bukan Rp.10
juta seperti pada tabel? Karena dua tahun kemudian keduanya kembali harus
mengeluarkan dana sebesar Rp.12 juta. Dua tahun bukan waktu yang lama. Dengan
kebutuhan lain yang harus dipenuhi juga, akan sangat memberatkan jika harus
mengurangi alokasi anggaran di pos lain karena terburu-buru mengejar “target”.
Oleh karena itu, sangatlah bijak jika pada tahun 2019, telah ada dana yang
cukup, setidaknya sampai tahun 2021.
Dengan asumsi yang sama, pada tahun 2025 pasangan muda ini harus
menyiapkan dana atau sebuah sistem investasi yang dapat memenuhi kebutuhan
beruntun sebesar Rp. 260 juta untuk jangka waktu tahun 2025 – 2036 dimana
diasumsikan pada tahun terakhir kedua anak telah selesai kuliah. Harus diingat
kembali, biaya yang kita bahas hanyalah biaya masuk saja dan tidak memasukan
pos pos lain yang terkait. Seragam, sepatu, tas, ongkos ke sekolah, sumbangan
ini itu, dan hal-hal lain belumlah kita masukan.
Tabel diatas membahas keluarga dengan dua anak, bagaimana jika
keluarga anda diberkahi dengan tiga, empat atau lima? Bagi saya yang jadi
masalah bukan pada jumlah anaknya, tapi pada bagaimana anda menyiapkan masa
depan mereka. Olah karena itu, bagi anda yang telah memulai sebuah keluarga,
segeralah membuat perencanaan yang detail tentang bagaimana anda hendak
menjalankan keluarga anda.
Disinilah saya tidak menyarankan para orang tua untuk menggantungkan
investasi pendidikannya kepada bentuk tabungan saja. Tabungan sangat rentan
untuk digunakan secara “tidak sengaja” dan ketika inflasi meningkat, nilai riil
tabungan akan semakin menurun. Oleh karena itu perlulah bagi para orang tua
untuk mempersiapkan dana pendidikan buah hati mereka dengan sistem investasi
yang dapat menjamin keberlangsungan pendidikan bahkan ketika orang tua tidak
lagi bekerja.
Ya. Anda tidak selamanya akan bekerja. Umur anda pun siapa yang
tahu. Faktanya, ayah dan ibu tidak hidup selamanya. Begitu juga dengan
kesehatan. Banyak kasus dimana orang tua berhenti bekerja karena kesehatan yang
berkurang. Dalam konteks perencanaan keuangan, semuanya bermuara pada satu hal
: hilangnya pemasukan dan jaminan masa depan.
Saya perlu mengingatkan bahwa investasi tidak melulu uang dan asset.
Investasi dalam bentuk menjaga kesehatan adalah salah satu bentuk kasih sayang
pada keluarga. Kesehatan tidak bisa dibeli dengan asuransi model apapun.
Asuransi hanya membayar ongkos dokter dan sumah sakit, bukan membayar kesehatan
anda. Oleh karena itu, bagi mereka yang gemar membahayakan kesehatannya dengan
perilaku ekstrim, berhentilah jika anda memang menyayangi keluarga. Tidak perlu
susah susah, bagi anda perokok, berhentilah merokok secara total. Uang yang
biasanya anda bakar, gunakan untuk dana pendidikan. Mudah bukan? Saya pernah
membahasnya pada artikel ini.
Dua bentuk investasi yang biasanya diambil adalah tabungan
pendidikan dan asuransi pendidikan. Adapula yang berpendapat dengan menggunakan
emas. Beberapa berpendapat dengan menggunakan instrument saham atau reksadana.
Apapun yang anda pilih, pastikan paket yang dipilih memenuhi timeline
keluarga anda.dengan demikian, memilih produk investasi bukanlah
langkah pertama untuk menyiapkan pendidikan anak-anak anda. membuat timeline adalah
yang terpenting. diskusikan dengan pasangan anda, tentang hal ini. jika
anda telah memiliki perencanaan yang baik. maka memilih produk
investasi bukan hal yang sulit lagi. selamat mencoba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar