Seorang pria mendorong temannya sampai jatuh. Diiringi tertawaan
dari teman-temannya yang lain. Seorang yang lain mengejek temannya, terkadang
membuka aib, lagi-lagi diikuti gelak tawa. Pada momen lain, komunikasi diantara
mereka hanya berisi saling melecehkan atau kekerasan. Alasannya? Agar orang
yang melihat tertawa. Demikianlah, isi seluruh acara sahur itu tak lebih dari
kekerasan, pelecehan, rasisme, membuka aib, penghinaan yang ternyata “boleh”
ditertawakan. Memang pada akhirnya (menit-menit injury time) datang seorang yang berpeci, berjubah, dan bersorban
(yang konon seorang alim ulama) untuk sekedar membaca khotbah-khotbah yang
sudah tercetak dalam naskah. Nilai yang bisa diambil dari acara ini?
Menertawakan penderitaan orang lain adalah baik. Tertawalah sekarang.
Di chanel lain, isinya berjubel dengan kuis-kuis berhadiah. Lengkap
dengan sponsor disana sini. Isinya adalah “dakwah” tentang provider
telekomunikasi yang perlu anda beli, sirup yang harus anda minum, cemilan yang
harus disajikan untuk berbuka, atau pakaian yang perlu diborong. Ada Iklan yang menjual handphone dengan bonus
software kitab suci. Pesan iklan itu? Tingkatkan iman dengan membeli handphone,
sungguh mengerikan. Ramadhan adalah tentang berbagi, namun acara ini menantang
langsung dengan berteriak lantang : “BELI dan MILIKI, karena tanpa produk yang
kami tayangkan, Idul Fitri Kalian akan BASI!!!”. Nilai yang bisa diambil dari
acara ini? Konsumerisme adalah jalan menuju ampunan Tuhan.
Disaluran sebelahnya, produsernya mungkin sudah habis ide. Karena
dia tetap menayangkan kisah tentang ksatria, putri raja, sang raja yang sakit
dan menteri jahat berlaku kudeta. Lengkap dengan efek animasi garuda dan naga
yang “serasi sekali” dengan kualitas ceritanya. Jangan lupakan dubbing suara yang konon jadi kewajiban untuk sinetron
seperti ini. Jika bukan kisah tentang naga dan jin, biasanya yang tayang adalah
sinetron “islami”. Kisahnya sebenarnya sama, tapi kali ini plus hijab dan
peci Nilai yang bisa diambil? Hanya Tuhan
dan sang produser saja yang tahu…
Ada juga yang nekat mencampurkan konser musik, khutbah, ngobrol sana
sini dan penonton ibu-ibu yang demikian kompak. Agar semakin semerbak islami,
pembawa acaranya mesti berjubah. Meriah sekali, meriah… hanya itu yang bisa
ambil. Selebihnya saya lupa. Tapi mari berbaik sangka.
Entah karena isi hati saya yang memang penuh dengki atau memang
dunia sudah terbalik, tapi menurutku sekarang ini sulit sekali membedakan
antara ustad dan artis. “Ustad” kini terlibat skandal dan masuk kedalam agenda infotainment. “Ustad” kini harus melawak
agar jamaah tidak bosan. “Ustad” juga harus mau bergabung dalam acara penuh
kekerasan dan pelecehan. Banyak Ustad telah diturunkan derajatnya sekedar
menjadi penghibur belaka. Pengecualian tetap ada untuk beberapa nama seperti
Quraisy Shihab, Arifin Ilham, Yusuf Masyur dan beberapa nama lain yang memang
berpegang teguh pada prinsip. Nilai yang bisa diambil? Jika anda gagal menjadi
artis, menjadi ustad kondang adalah pilihan bagus. Pastikan dulu anda bisa
melawak.
Ada yang lumayan bagus. Sedikit oase di kegersangan televisi. Setiap
sahur pukul 03.00 sampai 04.00, pak Quraisy Shihab membahas Alquran dan
implementasinya di masa sekarang ini. Malamnya coba “pantengin” pak yusuf Mansyur yang memberikan panduan solusi hidup
setiap pukul 21.30. Selebihnya, jika anda memang tidak tertarik dengan isu
korupsi Hambalang, Bupati Buol , Olimpiade London, Pilkada Jakarta, atau cekcok rumah tangga Raul Lemos, maka lebih baik
matikan saja televisinya. Toh Pak SBY sudah menginstruksikan pola hidup hemat
energi..
catatan : gambar saya ambil dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar