Minggu, 11 Maret 2012

Dinginnya (masyarakat) Perkotaan

-->
Malam tadi, di satu gerbong kereta yang melaju dari Bogor menuju Jakarta, saya terduduk sendiri. Sebenarnya tidak benar-benar sendiri, karena di gerbong itu sebenarnya ramai. Banyak orang lain di gerbong ini, sama-sama berbagi ruang dan udara. Saya mengatakan sendiri karena memang tiada satupun yang dikenal atau menemani. Ironis memang, sendirian dalam keramaian. Lebih ironis lagi, perasaan yang sama seolah menjangkiti seisi gerbong. Entah karena kecapaian atau memang tiada teman, sebagian besar hanya diam termenung.

Berhubung tak ada teman, Saya menghabiskan waktu dengan membaca koran.  Lagipula, tampaknya sebagian besar penumpang memang ingin segera tiba di tujuan masing-masing, sehingga berbincang dengan penumpang lain tampaknya bukan pilihan. Akhirnya, yang tersisa adalah Koran sore di tangan. Maka demikianlah cara berlalunya perjalanan itu. Sepanjang jalan, sepanjang rel, hanya aku dan koranku.

Sebetulnya  tak enak rasanya harus kembali cepat ke Kota bising ini. Sesungguhnya saya ingin tetap meluangkan waktu di rumah. Tapi pekerjaan adalah pekerjaan, dan esoknya aku harus bekerja. Kota ini ramai memang, tapi cenderung bising. Penuh dengan teriakan kemarahan dan kejengkelan. Sesak dengan keluhan dan ketidaksabaran.

Kota ini sungguh bising, mirip dengan dengungan nyamuk dengan soundsystem konser dangdut. Nyaring menyakitkan telinga, menguras kebahagiaan. Ada yang menghias hari dengan mengumpat soal kemacetan. Ada yang mengisi udara dengan makian soal kenaikan harga harga. Uniknya, sebagian besar dengungan ini berhenti di awan awan. Tak ada yang berubah sesudahnya. Paling-paling berubah bentuk, menjadi umpatan dan makian dengan topik yang berbeda.  
kau tahu? Sebenarnya keramaian dan kebisingan adalah dua hal yang jauh berbeda. Yang pertama menghangatkan jiwa, minimal berhasil memaksa kita tersenyum. Berkumpulnya keluarga adalah keramaian. Musyawarah warga adalah keramaian. Perayaan hari raya adalah keramaian. Tapi demonstrasi memblokir jalan bukanlah keramaian. Itu adalah kebisingan.

Kebisingan tak lebih dari suara-suara menyakitkan yang menghisap kebahagian langsung dari dasar hati. Rasa sakit adalah yang kurasakan ketika bising PSSI dan KPSI. Rasa sesak juga yang terjadi ketika orang berbising ria soal kasus korupsi. Bising hanya menghasilkan bunyi mengerikan, tidak pernah menyelesaikan masalah. Makanya aku yakin betul kebisingan adalah inspirasi JK Rowling ketika menciptakan sosok dementor.

Koranku akhirnya ku lipat, selesai sudah nasibnya. Entah akan ku buang atau ku simpan. Sebagian besar beritanya tak lebih dari kejahatan, kecurangan dan serangkaian berita tragis. Kalaupun ada berita yang baik, itu akan ditempatkan di bagian sisa. Media zaman sekarang memang mengerikan. Membacanya hanya akan menguras rasa optimis kita dan menggantinya dengan kemarahan dan kebencian. Aku adalah salah satu korbannya. Media berhasil mencuci otakku dan membuatku membenci banyak hal.

Aku membenci ketika sekelompok orang menjadi semakin kaya dimana sisanya semakin miskin. Aku membenci ketika  presiden tidak bertindak sesuai kehendakku. Aku membenci ketika kebijakan dan hukum cenderung berpihak pada yang punya duit. Aku membenci para artis yang kawin cerai. Aku membenci sandal crocs. Aku membenci justin beiber. Aku membenci Film twilight. Aku berubah menjadi monster pembenci.

itulah mengapa akhir-akhir ini aku tidak terlalu percaya media. Statusnya sekarang kusamakan dengan tukang gosip dan penyebar berita “bisik-bisik”. Lebih baik aku membaca buku. Buku tidak memaksaku percaya apa yang ditulis didalamnya. Tapi akhir akhir ini banyak buku dadakan.  Judulnya beda-beda, covernya selalu sama : ADA WAJAH ORANG TERSENYUM, BIASANYA PENULIS BUKU TERSEBUT. Mungkin itu kebijakan mendiknas untuk mencegah plagiat. Ide yang cukup bagus tampaknya.

Bosan melamun, akhirnya aku iseng mengamati orang-orang. Gerbong kereta adalah tempat yang menarik. Mungkin disinilah kita bisa menemui keragaman manusia selain di pasar. Didepanku ada gadis yang cukup manis, wajahnya jelas terlihat gusar, atau setidaknya tidak tenang. Tak salah lagi, dia sedang gundah. Sedikit sedikit dia membetulkan posisi duduknya. Seluruh bawaannya kini berfungsi sebagai komplementer pakaian dalam rangka menutupi apa yang mungkin sudah tergambar dalam benak para pria-pria dalam gerbong. Ada baiknya dia berhenti memakai rok mini ketika bepergian, siapa tahu dia tak perlu lagi hidup dijangkiti perasaan was was.

Ada lagi seorang pria di kejauhan sana. Tak terlalu tua, tapi tak muda lagi. Pria ini sedang dalam masa puncaknya. Hanya perlu sekilas pandang dan langsung terlihat bahwa pria ini pastilah menduduki posisi yang cukup bagus ditempatnya bekerja. Kubayangkan sepanjang hari dia keberja keras, dan baru pulang ketika matahari selesai shift kerja dan digantikan bulan. Itulah mengapa dia tertidur sangat pulas. Nyaman di kursi duduk sofa. Sayang dia lupa kalau itu khusus untuk para wanita tua, ibu hamil, para manula dan mereka yang memiliki keterbatasan. Tapi mungkin memang dia sangat kecapaian. Buktinya dia sama sekali tak menyadari kehadiran para wanita yang berdiri di depannya. Itulah hakikat orang tertidur. Menurut guruku, orang tertidur itu setengah mati, baik badannya, hatinya, terutama telinganya. Jadi percuma saja mengumpat dan obral sumpah serapah. Biarkanlah dia tertidur, karena esok pagi dia harus kembali bekerja.

Gerbong kereta adalah bukti bahwa bangsa kita, bangsa Indonesia adalah bangsa pekerja keras. Bahkan sangat keras. Siapapun yang bilang bahwa orang Indonesia kurang giat bekerja perlu sekali kali berangkat kerja menumpang kereta diatas gerbong. Digerbong kereta, menyabung nyawa bukan lagi sesuatu yang aneh. Makanya aku yakin siapapun yang tewas ketika berangkat kerja termasuk mereka yang berjihad karena mereka berkorban jiwa dan raga demi keluarga di rumah. Itulah fungsi lain kereta, melatih masyarakat untuk siap berkorban jiwa. Tak heran, tak satupun negara di dunia ini nekat untuk menyerang kita.

Kereta jalur bogor Jakarta memiliki musuhnya sendiri : HUJAN. Setiap kali hujan, selalu saja ada yang mogok. Namun karena dinilai tak cerdas, maka pera petugas tidak pernah menyebut hujan sebagai dalang kemacetan kereta. Kerusakan sinyal lah yang selalu menjadi kambing hitam.
 Kembali ke dalam gerbong. Satu persatu stasiun dilalui. Sama persis dengan denting denting waktu yang berdetak lalu menghilang. Sebentar lagi aku sampai. Perjalanan ini dingin sekali. Sedingin beton dan besi yang membangun kota ini.


catatan : gambar diambil di situs Ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar