Jumat, 21 September 2012

Mari pasang nyawa untuk Foke, Mari mati-matian membela Jokowi,


             Minggu ini denyut kota Jakarta, berdetak keras. Pasalnya, ada pemilihan kepala kampung baru yang akan memimpin Jakarta selama lima tahun kedepan (setidaknya itu bunyi pengumuman di KPU setempat). Mereka yang berKTP jakarta otomatis (seharusnya) memiliki hak untuk turut serta dalam urusan ini. biarpun kontribusinya tak lebih dari melubangi kertas suara. Justru kertas-kertas berlubang inilah yang akan menentukan apakah Pak Kumis atau Mas Kotak-kotak yang duduk di kursi empuk gubernur Jakarta.

                Saya tak tertarik untuk membahas keduanya. Selain saya bukan warga Jakarta, sudah terlalu banyak diskusi dan debat kusir soal dua orang ini. Saya justru tertarik dengan adu silat antara para pendukung masing masing cagub. Mengapa? karena meski tidak mendapatkan keuntungan ekonomi atau sosial secara langsung, kita bisa melihat begitu banyak pendukung masing-masing cagub yang seolah "berani mati" atau setidaknya "pasang badan" untuk membela jagonya. 


         Awalnya, pertarungan pilkada Jakarta berlangsung seru. pada putaran pertama, ada lima pasangan cagub dan cawagub yang bertarung dengan gayanya masing-masing. Diskusi dan debat sanggah berlangsung sehat. kampanye juga berlangsung tertib. Intinya, pilkada berlangsung lumayan enak ditonton. namun semuanya berubah menjadi mengerikan (dalam bahasa saya) ketika putaran kedua dimulai.
               
               Entah kenapa tiba-tiba saja orang ribut soal rhoma irama, atau soal SARA, atau soal Ahok, atau soal betawi, Jawa dan Cina. Entah kenapa, tiba-tiba saja orang-orang yang pada dasarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan Foke dan Jokowi, saling caci maki sekedar membela cagub pilihannya. Jokowi tiba-tiba saja menjadi juru selamat alias satrio piningit yang suci murni. Sekarang, mengkritik Jokowi sama saja menghina nabi utusan Tuhan, minimal dituduh anti Cina. Disisi lain, Foke tiba-tiba saja menjadi Julius Caesar yang begitu sukses besar memajukan Jakarta. Mengkritik Foke otomatis dicap sebagai orang bodoh yang tidak mengerti statistik.

             Saya paham jika tim sukses yang melakukannya, tapi kalau itu masyarakat awam? apa yang mendorong mereka melakukan itu? maaf saja, keuntungan ekonomi, proyek, atau jabatan bukan jatah kaum awam. Kalau begitu, apa yang sesungguhnya membuat masyarakat begitu terbawa atau bahkan terbuai dengan perkelahian antara empat pria berumur yang pada dasarnya memperebutkan dua kursi yang belum tentu juga akan diduduki selama lima tahun. (ingat banyak kepala daerah yang terpaksa lengser, entah masuk penjara, pecah kongsi, nyalon di daerah lain dan sebagainya)

                Pertanyaan berikutnya, benarkah perilaku dukung mendukung yang nyaris fanatik ini hanya berlaku di waktu pilkada. Jangan-jangan kelakuan yang sama kambuh di saat-saat lain. Perilaku membela sambil tutup mata (saya tidak ingin menggunakan kata "membabi buta") ini, apakah memang juga berlaku di wilayah sosial lainnya? kalau merunut kebelakang, persaingan menjurus fanatisme memang bukan monopoli saat pilkada saja. lihat saja pertarungan absurd dan berdarah-darah antara Bobotoh, Bonek VS Jack Mania atau ribut remeh temeh di internet terkait pro kontra boyband SMASH (serius ini terjadi). Ramainya ribut antar kampung di Jakarta atau antar geng motor juga menunjukan bahwa kita bisa menjadi begitu fanatik untuk urusan apapun. Masyarakat kita ternyata telah begitu akut dalam urusan fanatisme sehingga seorang Bintang Porno memiliki barisan "banser" yang siap pasang badan ketika ditolak oleh masyarakat yang konsern.

                Modelnya selalu sama. Sekontroversial apapun anda, entah goyang ngebor, atau bintang porno, jika anda pihak yang "terzalimi" dan kebetulan memiliki akses ke media, semakin anda bisa menunjukan "keterzaliman" yang anda alami, akan semakin banyak orang yang mendukung anda. Dan ya, mereka akan tutup mata betapapun menyimpangnya perilaku anda. Rumus keterzaliman ini akan semakin ampuh kalau dipadu dengan penampilan yang "pasrah", "ikhlas" dan ditambah dengan bumbu-bumbu "tangisan". lihat saja Bintang porno Miyabi yang langsung didukung oleh banyak orang ketika hendak syuting di indonesia.

                  Di dunia politik, rumus "dizalimi" adalah pakem ampuh kalau anda hendak bertarung di pilkada atau pemilihan presiden. Ibu Mega dan PDI-P berjaya di tahun 1999 karena dizalimi oleh pemerintahan Pak Harto. Pak SBY dan Demokrat berjaya di tahun 2004 karena dizalimi Ibu Mega. JOkowi kemungkinan besar akan menang karena "dizalimi" Foke. Benar atau tidaknya tindakan penzaliman yang mereka alami masih bisa diperdebatkan. Tapi yang terpenting adalah, mengapa masyarakat seolah begitu menelan mentah-mentah kampanye "penzaliman" ini? bukankah masyarakat di indonesia pada dasarnya cukup cerdas?

                   Jawabannya saya temukan di situs sulfikar.com yang membahas tentang kemenangan Pak SBY di pemilu 2009 yang disokong penuh media, begini komentarnya :

“bagaimana dengan PILPRES RI 2009 yang lalu? Mungkin hal ini yang terjadi di Indonesia. Tokoh yang bertubuh kecil, pendek dan blak-blakan tapi cerdas dan bernas dikalahkan oleh karakter yang dipoles dengan rekayasa personal public relation yang menor dan sangat lebay”

             Jawabannya adalah sebuah teori bernama  Teori Jarum Suntik yang berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak memiliki kekuasaan untuk menolak informasi setelah disuntikkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena seperti kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak memiliki alternatif untuk menentukan pilihan lain, kecuali apa yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal dengan sebutan Teori Peluru atau bullet theory.
             Tapi teori ini tetap tidak bisa menjawab pertanyaan awal. Apa sih yang membuat orang begitu menggebu-gebu dalam mendukung pasangan calon? ketika faktanya mayoritas dari mereka hanya akan mendapatkan proyek cap "thank you" alias gratisan. mungkin pada akhirnya ini bukan lagi urusan pemilu atau pilkada sebagai media rasionalitas. Mungkin yang muncul sebenarnya adalah perasaan dan bukan logika. seperti orang bilang bahwa cinta itu buta, maka ketika kita "jatuh hati" pada seorang tokoh maka alam bawah sadar kita otomatis mati rasa. Apapun yang disodorkan ke masyarakat terkait keburukan seorang tokoh, ketika idolisme (pengidolaan) seorang tokoh sudah merasuk, maka percuma saja. ironis, karena idolisme memiliki akar kata Idol yang bisa diterjemahkan juga sebagai "berhala".

                Saya ingat 2007 lalu ketika Foke menang tipis dari Adang Darajatun (bukan dorojatun), dan dielu-elukan sebagai "sang ahli". Ternyata bulan madu hanya sebentar dan sang ahli harus menjalani 5 tahun penuh caci maki dari masyarakat Jakarta yang ironisnya begitu mendukungnya pada saat pemilu. Ah cinta memang demikian, dia lari begitu saja meninggalkan pak Foke.. Semoga ini tidak terjadi kepada Pak Jokowi.


Oh ya lupa ngasih selamat. Selamat ya pak Jokowi.. dari orang Netral yang sama sekali tidak mendukung Bapak atau Pak Foke, atau juga Pak Hidayat, Pak Faisal dan Pak Alex. Maklum, bukan warga Jakarta.


NB : gambarnya bukan saya yang buat, ini pinjam dari inih : http://arifoadhinoto.wordpress.com/2012/07/14/mengapa-jokowi-bisa-menang/
              






Tidak ada komentar:

Posting Komentar