Selasa, 27 Maret 2012

BERSUARALAH, SAMPAIKANLAH, BUKAN HANCURKAN

-->

Perjuangan itu selalu pahit. Siang itu di sebuah bukit yang gersang, seorang laki-laki menyeru kepada masyarakat di kotanya untuk menuju jalan kebenaran. Sendirian, laki-laki itu harus menghadapi kaum yang telah terjangkit kapitalisme, premanisme, rasisme, dan hedonisme yang akut.

Apa yang dihadapi Laki-laki itu bukanlah sesuatu yang main-main. Wahyu Kebenaran yang hendak disampaikannya berhadapan langsung dengan kepentingan para tokoh dan pemuka kaum yang menginginkan agar status quo tetap dipertahankan. Para tokoh dan pemuka khawatir bahwa dakwah yang disampaikannya akan merusak tatanan sosial yang selama ini menguntungkan mereka. Demikianlah, laki-laki tadi kini ibarat menggenggam bara api. 

Sang Laki-laki tadi begitu resah melihat kemerosotan yang terjadi di kota kelahirannya itu. Masyarakat di kotanya telah hidup terlalu lama dalam bayangan kegelapan. Kegelapan yang dipenuhi perang antar suku, kekerasan, penistaan wanita, perjudian, kebodohan, pembunuhan anak-anak dan perbudakan. Hatinya berteriak, jiwanya gundah.

Setelah sekian lama berdakwah secara sembunyi-sembunyi, Muhammad, yang kelak akan memimpin sebuah pergerakan yang menggoncang dunia, memutuskan untuk menyuarakan kebenaran di hadapan kaumnya. Bukit itu, Shafa, menjadi saksi kebulatan tekadnya. Kebenaran haruslah disampaikan dengan terang. Kebenaran haruslah diteriakan.

Sejarah kemudian mencatat dahsyatnya penentangan yang menimpa Muhammad dan kaum Muslim. Dengan jumlah yang tidak seberapa, kaum muslim harus dihadapkan pada boikot ekonomi, terror sosial, pengusiran, penyiksaan, bahkan pembunuhan. 

Apakah semua kekejian tersebut merubah caranya menyampaikan kebenaran? Tidak. Muhammad Sang Rasul tetap santun pada tetangga Quraisy yang terang-terangan menginginkan nyawanya. Beliau tetap berlaku adil kepada Yahudi yang secara frontal menantang dakwahnya. Baginya, dakwah hanyalah bisa disampaikan melalui kebaikan dan kesantunan. Kebenaran tidak bisa disebarkan melalui ujung pedang dan laras senapan. Kebenaran hanya bisa bertempat dihati yang lapang.

Sejarah mencatat, manusia melupakan. 14 abad yang lalu Rasulullah mencontohkan secara sempurna bagaimana sebuah pesan harus disampaikan dan perjuangan dilakukan. 14 abad kemudian, orang melupakan. Kini pesan disampaikan melalui aksi aksi anarkis. Perjuangan atas nama rakyat disebarkan dengan kepulan asap, lemparan batu, ayunan kayu dan barang-barang yang dibakar. 

Sore kemarin aku menjadi saksi bagaimana ribuan orang di seluruh Indonesia melupakan kebijakan sang Rasul. Suara hati rakyat untuk menolak kenaikan harga BBM diterjemahkan dengan mengorbankan rakyat itu sendiri. Di satu daerah, mahasiswa bentrok dengan warga karena para “aktivis” menjarah sebuah rumah makan dan merusak harta warga. Didaerah lain, (lagi-lagi) mahasiswa mencegat truk-truk pengangkut LPG untuk kemudian di jarah. Robin hood jadi tameng mereka. Para aktivis karbit tersebut mengira bahwa dengan merampok LPG milik rakyat dan membaginya kepada rakyat lain, maka mereka telah lengkap menjadi seorang “aktivis”. Label aktivis juga menjadi tameng untuk menghalalkan mahasiswa untuk mencegat kendaraan publik untuk dirusak. Polisi seolah menjadi warga kelas dua yang halal dilempari batu, sementara pendemo menjadi orang suci yang bebas dari kesalahan. Lagi-lagi sekedar karena label aktivis. Kalau sudah begini, sungguhlah pantas jika masyarakat menurunkan derajat “perjuangan” para aktivis menjadi sekedar pembuat onar dan kerusuhan. 

Terima kasih kepada “aktivis” yang menyuarakan suara hari rakyat dengan begini primitif, rakyat pun jengah. Aksi demo berjalan sambil lalu. Masyarakat menanti usai para pendemo menggelar aksi, semata-mata karena demonstrasi hanya memacetkan lalu lintas. Aktivis tak lagi dinanti. Para sopir bajaj dan taxi bermunajat agar mereka tak lagi memblokir jalan. Warga mengusir mereka. Aktivis menjadi makhluk asing untuk rakyat yang konon dibelanya. 

Aku ingat ketika disana bersama para sahabat meneriakan aspirasi menolak kedatangan penjajah George W Bush ke tanah air. Amerika kala itu aktif menyebarkan perang ke seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain, Bush harus pergi jauh-jauh. Para sahabat melakukan aksi dengan merapatkan diri menjadi pagar betis menjaga istana bogor. Kala itu hujan menyirami dan para sahabat tetap disana, diam tak bergerak. Diselingi sejenak istirahat dan munajat kepada sang Khalik, aku ingat bahwa kami berbincang akrab dengan para polisi. Terkadang saling menggoda. 

Dua sisi yang bersebarangan, masing-masing melakukan apa yang diyakini. Kami meyakini bahwa Bush adalah Hitler yang bangkit kembali. Para petugas meyakini bahwa keamanan dan ketertiban haruslah ditegakkan. Tak ada ban yang dibakar, tak ada batu yang dilempar. Kami hanya ingin meneriakan suara hati. Syukurlah para polisi mengerti. Di akhir sore, kami semua pulang, karena hidup bukan sekedar aksi-aksi jalanan. Cukuplah Bush tahu, dirinya tak diinginkan disini.
14 abad yang lalu. Rasulullah membebaskan Mekkah dari cengkeram kegelapan dengan dakwah yang santun dan tindakan nyata. Beliau menjadi bagian dari solusi dan menjadi motor dari solusi itu sendiri. Kemarin, demonstrasi menolak kenaikan harga BBM berubah ricuh, puluhan orang ditangkap dan jatuh korban luka-luka. Ironis, masyarakat tak merasa dibela. Sore kemarin para sahabat lebih memilih pasrah dan berharap cemas menunggu pulang.

Minggu, 11 Maret 2012

Dinginnya (masyarakat) Perkotaan

-->
Malam tadi, di satu gerbong kereta yang melaju dari Bogor menuju Jakarta, saya terduduk sendiri. Sebenarnya tidak benar-benar sendiri, karena di gerbong itu sebenarnya ramai. Banyak orang lain di gerbong ini, sama-sama berbagi ruang dan udara. Saya mengatakan sendiri karena memang tiada satupun yang dikenal atau menemani. Ironis memang, sendirian dalam keramaian. Lebih ironis lagi, perasaan yang sama seolah menjangkiti seisi gerbong. Entah karena kecapaian atau memang tiada teman, sebagian besar hanya diam termenung.

Berhubung tak ada teman, Saya menghabiskan waktu dengan membaca koran.  Lagipula, tampaknya sebagian besar penumpang memang ingin segera tiba di tujuan masing-masing, sehingga berbincang dengan penumpang lain tampaknya bukan pilihan. Akhirnya, yang tersisa adalah Koran sore di tangan. Maka demikianlah cara berlalunya perjalanan itu. Sepanjang jalan, sepanjang rel, hanya aku dan koranku.

Sebetulnya  tak enak rasanya harus kembali cepat ke Kota bising ini. Sesungguhnya saya ingin tetap meluangkan waktu di rumah. Tapi pekerjaan adalah pekerjaan, dan esoknya aku harus bekerja. Kota ini ramai memang, tapi cenderung bising. Penuh dengan teriakan kemarahan dan kejengkelan. Sesak dengan keluhan dan ketidaksabaran.

Kota ini sungguh bising, mirip dengan dengungan nyamuk dengan soundsystem konser dangdut. Nyaring menyakitkan telinga, menguras kebahagiaan. Ada yang menghias hari dengan mengumpat soal kemacetan. Ada yang mengisi udara dengan makian soal kenaikan harga harga. Uniknya, sebagian besar dengungan ini berhenti di awan awan. Tak ada yang berubah sesudahnya. Paling-paling berubah bentuk, menjadi umpatan dan makian dengan topik yang berbeda.  
kau tahu? Sebenarnya keramaian dan kebisingan adalah dua hal yang jauh berbeda. Yang pertama menghangatkan jiwa, minimal berhasil memaksa kita tersenyum. Berkumpulnya keluarga adalah keramaian. Musyawarah warga adalah keramaian. Perayaan hari raya adalah keramaian. Tapi demonstrasi memblokir jalan bukanlah keramaian. Itu adalah kebisingan.

Kebisingan tak lebih dari suara-suara menyakitkan yang menghisap kebahagian langsung dari dasar hati. Rasa sakit adalah yang kurasakan ketika bising PSSI dan KPSI. Rasa sesak juga yang terjadi ketika orang berbising ria soal kasus korupsi. Bising hanya menghasilkan bunyi mengerikan, tidak pernah menyelesaikan masalah. Makanya aku yakin betul kebisingan adalah inspirasi JK Rowling ketika menciptakan sosok dementor.

Koranku akhirnya ku lipat, selesai sudah nasibnya. Entah akan ku buang atau ku simpan. Sebagian besar beritanya tak lebih dari kejahatan, kecurangan dan serangkaian berita tragis. Kalaupun ada berita yang baik, itu akan ditempatkan di bagian sisa. Media zaman sekarang memang mengerikan. Membacanya hanya akan menguras rasa optimis kita dan menggantinya dengan kemarahan dan kebencian. Aku adalah salah satu korbannya. Media berhasil mencuci otakku dan membuatku membenci banyak hal.

Aku membenci ketika sekelompok orang menjadi semakin kaya dimana sisanya semakin miskin. Aku membenci ketika  presiden tidak bertindak sesuai kehendakku. Aku membenci ketika kebijakan dan hukum cenderung berpihak pada yang punya duit. Aku membenci para artis yang kawin cerai. Aku membenci sandal crocs. Aku membenci justin beiber. Aku membenci Film twilight. Aku berubah menjadi monster pembenci.

itulah mengapa akhir-akhir ini aku tidak terlalu percaya media. Statusnya sekarang kusamakan dengan tukang gosip dan penyebar berita “bisik-bisik”. Lebih baik aku membaca buku. Buku tidak memaksaku percaya apa yang ditulis didalamnya. Tapi akhir akhir ini banyak buku dadakan.  Judulnya beda-beda, covernya selalu sama : ADA WAJAH ORANG TERSENYUM, BIASANYA PENULIS BUKU TERSEBUT. Mungkin itu kebijakan mendiknas untuk mencegah plagiat. Ide yang cukup bagus tampaknya.

Bosan melamun, akhirnya aku iseng mengamati orang-orang. Gerbong kereta adalah tempat yang menarik. Mungkin disinilah kita bisa menemui keragaman manusia selain di pasar. Didepanku ada gadis yang cukup manis, wajahnya jelas terlihat gusar, atau setidaknya tidak tenang. Tak salah lagi, dia sedang gundah. Sedikit sedikit dia membetulkan posisi duduknya. Seluruh bawaannya kini berfungsi sebagai komplementer pakaian dalam rangka menutupi apa yang mungkin sudah tergambar dalam benak para pria-pria dalam gerbong. Ada baiknya dia berhenti memakai rok mini ketika bepergian, siapa tahu dia tak perlu lagi hidup dijangkiti perasaan was was.

Ada lagi seorang pria di kejauhan sana. Tak terlalu tua, tapi tak muda lagi. Pria ini sedang dalam masa puncaknya. Hanya perlu sekilas pandang dan langsung terlihat bahwa pria ini pastilah menduduki posisi yang cukup bagus ditempatnya bekerja. Kubayangkan sepanjang hari dia keberja keras, dan baru pulang ketika matahari selesai shift kerja dan digantikan bulan. Itulah mengapa dia tertidur sangat pulas. Nyaman di kursi duduk sofa. Sayang dia lupa kalau itu khusus untuk para wanita tua, ibu hamil, para manula dan mereka yang memiliki keterbatasan. Tapi mungkin memang dia sangat kecapaian. Buktinya dia sama sekali tak menyadari kehadiran para wanita yang berdiri di depannya. Itulah hakikat orang tertidur. Menurut guruku, orang tertidur itu setengah mati, baik badannya, hatinya, terutama telinganya. Jadi percuma saja mengumpat dan obral sumpah serapah. Biarkanlah dia tertidur, karena esok pagi dia harus kembali bekerja.

Gerbong kereta adalah bukti bahwa bangsa kita, bangsa Indonesia adalah bangsa pekerja keras. Bahkan sangat keras. Siapapun yang bilang bahwa orang Indonesia kurang giat bekerja perlu sekali kali berangkat kerja menumpang kereta diatas gerbong. Digerbong kereta, menyabung nyawa bukan lagi sesuatu yang aneh. Makanya aku yakin siapapun yang tewas ketika berangkat kerja termasuk mereka yang berjihad karena mereka berkorban jiwa dan raga demi keluarga di rumah. Itulah fungsi lain kereta, melatih masyarakat untuk siap berkorban jiwa. Tak heran, tak satupun negara di dunia ini nekat untuk menyerang kita.

Kereta jalur bogor Jakarta memiliki musuhnya sendiri : HUJAN. Setiap kali hujan, selalu saja ada yang mogok. Namun karena dinilai tak cerdas, maka pera petugas tidak pernah menyebut hujan sebagai dalang kemacetan kereta. Kerusakan sinyal lah yang selalu menjadi kambing hitam.
 Kembali ke dalam gerbong. Satu persatu stasiun dilalui. Sama persis dengan denting denting waktu yang berdetak lalu menghilang. Sebentar lagi aku sampai. Perjalanan ini dingin sekali. Sedingin beton dan besi yang membangun kota ini.


catatan : gambar diambil di situs Ini